mulai dari sini, cerita ini akan sy buka, dengan satu kisah yg selama ini selalu sy pikirkan
apa hubunganya GETIH ANGET dengan MBAREP TUNGGAL dalam silsilah keluarga sy?
konon, sy bukan satu2 nya orang yg terlahir dengan anugerah seperti ini, karena sebelum sy lahir, sudah ada
-yg mendapatkan hakekat sebagai Getih anget yg sekaligus menyandang nama sebagai “MBAREP TUNGGAL” yg begitu di agung2kan keluarga sy, beliau adalah sepupu dari Bu De sy.
sy memanggilnya dengan nama “Mas Didik” dan kisah ini, akan sangat amat behubungan dengan beliau.
kenapa “MBAREP TUNGGAL” begitu di agung2kan oleh keluarga sy, begini ceritanya.
Mbarep Tunggal ( Keluarga Jawa ) – Cerita Horror Misteri Indonesia
saat itu, keluarga besar sy merupakan 1 dari 6 orang pertama yg tinggal di desa ini, tidak mudah waktu itu untuk tinggal disini, karena tanah disini sangat sengak, dan bila di lihat oleh orang biasa
-dulu, di panggil dengan DESA BANGSA LELEMBUT.
kakek sy lah yg pertama membangun lahan disini, karena itulah, beliau sangat di segani bahkan menjadi salah satu tetua yg selalu di mintai tolong bila terjadi apa2.
namun, kita tidak akan menceritakan desa ini, karena yg akan kita-
agar kalian tidak bingung, akan sy jelaskan sekali lagi, bahwa MBAREP TUNGGAL memiliki makna yg berbeda di dalam keluarga besar sy.
MBAREP TUNGGAL bukan tentang anak pertama dan satu2nya, melainkan, seorang anak yg di percaya dapat berkomunikasi dengan nenek moyang kami-
sebelum mas Didik, MBAREP TUNGGAL di sandang oleh pak de No yg merupakan generasi dari bapak.
pak de No adalah kakak kandung dari bapak, dan sejak kecil beliau memang paling berbeda, bisa di katakan, dewasa sebelum waktunya.
seperti de No, mas Didik juga memiliki perbedaan-
selama 3 hari berturut-turut, mas Didik duduk dan meamandang sebuah rumah, setiap di tegur si pemilik rumah. mas Didik akan mengatakan “onok geni mumbul” (ada api melayang2)
namun si pemilik rumah tidak mengerti apa maksud ucapan anak kecil itu.
hal ini menjadi perbincangan banyak orang, sampai de No datang dan melihat, rupanya, ada banaspati di atas rumah itu.
Banaspati adalah bola api yg konon di miliki oleh mereka yg memiliki ilmu tinggi, masalahnya, banaspati sering di kaitkan dengan sebuah bencana, yg berujung-
pak de No mengatakan, Genderuwo ini bukan Tiang kembarnya, karena kakek sy sempat takut, bilamana Tiang kembar mas Didik adalah makhluk ini.
GETIH ANGET, tidak dapat di kuasai sembarangan makhluk lelembut kecuali TIANG KEMBARNYA, hal itu berlaku pada mas Didik ini.
selama 12 tahun itu semenjak kelahiran mas Didik tidak ada yg terjadi dengan keluarga sy, namun semua berubah setelah Bapak dan Ibuk bertemu, menikah dan kemudian sy lahir di dunia ini.
karena kata mas Akhiyat, saat sy masih bayi, yg selalu mengasuh dan tidak mau jauh2 dari saya
-adalah mas Didik.
padahal, sebelumnya, mas Didik selalu menghindari kontak dengan anak2 lain ataupun orang lain, beliau juga di jauhi oleh warga desa sy, lalu, kenapa mas Didik selalu ada di samping sy yang masih bayi?
hal ini belum terjawab sampai saat ini.
sejak kecil, gw terlahir dengan kondisi tubuh yg pesakitan.
sedikit2 badan gampang sekali panas, dan setiap malam gw selalu suka tertawa sendirian di samping bapak dan ibu yg tidur bersama2 dalam satu bayang (kasur), hal ini membuat bapak kadang penasaran
hal ini segera di ceritakan kepada de No, dan ketika di terawang, de No begitu kaget, hampir di setiap sudut rumah gw, ada penghuni tak di undang, menunggu saat gw sendirian.
awalnya de No masih belum curiga dan menganggap hal itu biasa saja, karena umumnya, makhluk seperti itu-
-akan tertutup dengan sendirinya.
namun rupanya, de No tidak tahu menahu, bahwa gw berbeda dengan anak2 lain, semua di ketahui setelah kejadian yg menimpa gw di suatu tempat yg jauh.
tradisi yg masih di lakukan keluarga besar gw adalah Arisan keluarga.
biasanya di adakan di setiap rumah anggota keluarga secara bergantian, dan pada hari2 khusus, acara ini di adakan di tempat2 yg jauh.
saat itu, katanya, gw sempat menghilang selama satu hari satu malam.
-dan kebetulan aku ada disana juga)
ketika mendengar itu, akhirnya pertanyaan gw selama ini terjawab. dulu gw sering memikirkan sesuatu, tentang sebuah pohon Keres (leci jawa) yg tumbuh subur, dimana dahan dan daunya sampai menempel di tanah, disana gw sedang bermain.
“Mas, nggone onok wit keres e mboten?” (mas, apa tempatnya ada pohon keresnya?)
mas Akhiyat hanya menatap gw nanar, lalu berujar “yo nggok kunu awakmu di temokno ambek de No, sak durunge wes di goleki sedino bleng” (ya disitu kamu di temukan oleh de No, sebelumnya sudah di cari-
-seharian penuh)
disitulah de No baru tau, bahwa gw sama seperti mas Didik, dan darisana juga, de No akhirnya paham, kenapa gw gampang sakit, rupanya, gw dan mas Didik tidak boleh di dekatkan satu sama lain, terutama gw, dimana mas Didik akan banyak mengambil yg di sebut jiwo
suaranya intens, dan itu jelas bukan bapak, tidak ada salam dan hanya ketukan pintu.
rumah gw masih menggunakan tembok bambu, sehingga ada celah ibuk buat mengintip apa yg ada di luar, rupanya kosong.
setiap ibuk kembali ke tempat gw, ada yg ngetuk lagi. hal itu terjadi terus
matanya menyala merah, bertaring dengan kuku jari panjang, tengah menggendong gw.
ibuk melihat gw tampak senang di gendong makhluk itu, ibuk menjerit keras namun makhluk itu menjambak ibuk dan membuatnya jatuh pingsan.
bapak pulang dan melihat ibuk sudah terkapar,
namun anehnya, gw di temukan ada di dalam kamar, tertidur lelap di atas kasur.
malam itu sontak bapak langsung bertemu si mbah.
mbah gw ini adalah orang yg ilmunya cukup tinggi, gw biasa memanggil beliau mbah nang, yg artinya mbah lanang (mbah laki2) rupanya mbah nang baru
saja melihat apa yg terjadi dari sebilah kerisnya, dan dengan wajah bingung mbah Nang mengatakan, makhluk itu di suruh oleh mas Didik.
hari itu juga, semua keluarga di panggil dan di kumpulkan untuk membahas hal ini, konon, de No membela mas Didik, sampai2 membuat bapak
sangat marah.
karena nyawa gw rupanya dalam bahaya. bukan karena mas Didik, namun makhluk yg mengikutinya, ada hal yg membuat bapak khawatir, bahkan ibuk sampe mengusulkan untuk membawa gw jauh dari rumah itu, pulang ke rumah orang tuanya.
disini, akhirnya di ambil jalan tengah.
de No, akan pergi sebentar, untuk bertanya pada Trah Tumerah.
sekembalinya de No, ternyata memang makhluk itu tidak ada sangkut pautnya sama mas Didik, karena rupanya kedatangan makhluk itu bukan atas perintah, melainkan keinginan sndiri
“MBAREP TUNGGAL iku yo tunggal, gak isok nok loro, isok nekakno balak” (seorang mbarep tunggal itu ya seharusnya cuma satu, gak boleh ada dua, bisa mendatangkan musibah)
dilain hal, gw gak bisa di apa2kan karena masih sangat kecil dan beresiko, setelah mencari2 jalan keluar,
de No akhirnya, melakukan perwalian, jadi, perwalian itu semacam mengikat satu sama lain.
de No akan menjadi wali mas Didik, sedangkan gw, akan di walikan oleh orang yg bersedia menjadi pagar bagi gw, orang yg ilmunya setara atau lebih dari de No, disini gw bertemu orang itu
“yo wes, ben aku dadi waline cah iki” (ya sudah, biar aku yg jadi walinya dari anak ini)
namun, setelah terjadi perwalian itu, ada malam dimana de No, mengumpulkan semua keluarga besar gw di rumah si mbah.
bersembunyi di dalam rumah mereka masing2.
suasana Desa gw, mencekam seperti desa mati.
anak2 di dahinya di beri kunir, katanya biar tidak gampang sawan, di situ, gw bertemu lagi sama mas Didik, anehnya, sekarang mas Didik yg jatuh sakit.
sakitnya luar biasa, sampai mas Didik
tidak dapat bernafas dan seperti orang ayan, rupanya, yg di takutkan de No sudah datang.
makhluk yg membawa gw di pohon Keres, ternyata sudah tau keberadaan gw, dan kabarnya, itu adalah TIANG KEMBAR gw
mas Akhiyat menceritakan kondisi saat itu.
semua orang tegang, bu De, bu Lek bahkan mbah Nang dan mbah Dok juga begitu.
de No hanya duduk menghisap rokok, sementara mas Didik di bawa ke kamar belakang, gw di biarkan sendiri, karena kabarnya, gw maen dengan makhluk itu
pak haji Sanah sudah tau, karena keesokan harinya bapak membawa gw ke rumahnya, atas perintah de No.
pak haji Sanah hanya mengatakan, agar membangun pagar kayu dari pring kuning (bambu kuning) di teras rumah, konon, makhluk itu sangat benci dengan bambu kuning
Bapak segera menuruti apa yg di perintahkan pak haji Sanah, sembari menunggu jalan apa sebaiknya agar makhluk itu tidak mengikuti gw, ada hal unik yg dulu ibuk selalu ceritakan ke gw,
waktu kecil, gw itu rewel, tiap bapak berangkat narik becak, gw bakal nangis gak berhenti2
dan bahkan ibuk sampe nyerah harus bagaimana biar gw gak nangis, kalau bapak gak narik, kami gak ada uang buat makan.
akhirnya cara satu2nya, gw di letakkan di pagar kuning, dan anehnya setiap gw disana, gw seakan lupa bapak akan pergi narik
dan gw akan bermain disana, seolah2 ada yg nemenin gw maen, sebenarnya, yg nemenin gw maen adalah makhluk itu, dia yg di sebut de No TIANG KEMBAR gw.
setiap kali gw tanya mas Akhiyat seperti apa wujudnya, mas Akhiyat tampak tidak mau membicarakan, jujur, gw sedikit ingat, tapi
setiap gw udah hampir dapat wujudnya, gw langsung lupa, yg gw inget, cuma pohon keres tempat makhluk itu tinggal.
karena kejadian waktu Arisan keluarga itu, setahu gw, gw gak di bawa oleh siapapun, melainkan gw lari mengikuti gantrung (capung) yg terbang menuju pohon keres itu
namun yg pertama tahu wujud makhluk itu adalah mbah Gimon, tetangga gw, yg selalu mengamati ketika gw bermain di pagar bambu kuning.
kabarnya, makhluk itu mengasuh gw layaknya seorang ibu, wujudnya menyerupai wanita dengan wajah tertutup rambut panjang,
-berhak atas pilihanya sendiri.
semenjak saat itu, keluarga besar gw terbagi menjadi 2, mendukung untuk tidak melanjutkan tradisi, atau tetap melanjutkan tradisi ini
meski begitu, pak de No tidak lepas tangan, semenjak beliau tau bahwa gw berbeda, beliau menjalankan puasa mutih
Mbah buyut ini bisa di bilang berilmu tinggi, dan memiliki perewangan yg banyak sekali untuk menjaga rumahnya, karena mbah buyut adalah salah satu orang yg berada waktu itu.
ibuk pernah cerita suatu waktu, dimana rumah mbah Buyut di santronin oleh maling
disini, si mbah tau, bahwa ibuk rupanya melakukan hal2 semacam ini, sehingga akhirnya ibuk di ruqiah, dan di temukan puluhan susuk dalam wajah ibuk.
disini pak haji Sanah, menjelaskan, bahwa, tubuh gw baunya sudah seperti pandan yg di tanak, sedangkan TIANG KEMBAR gw, memiliki
hari itu juga, bapak dan ibuk gw setuju dan akan membawa gw pindah menjauh dari keluarga besar gw.
setiap malam, sebelum tidur, ibuk selalu membacakan gw, sesuai perintah pak haji Sanah, selama sebulan penuh bergantian sama bapak, dan setiap di bacakan, gw selalu sawan
-gw harus di bawa lagi kembali kesini.
pak de No sebenarnya punya alternatif lain, dia kenal dengan seorang wanita tua yg bisa membantu gw untuk mengaburkan bebauan aroma badan gw, namun di tolak sama bapak karena melibatkan banyak jin dan bapak juga sudah tidak percaya-
-Truk.
tidak hanya itu, masih banyak peristiwa yg gk bisa di jelaskan oleh akal sehat, karena itu, ketika ibuk mendapat firasat buruk yg berhubungan dengan gw, ibuk selalu mewanti2 agar gw nurut apa katanya. namun yg lebih penting, 2 jin kembar itu, mengikuti gw, karena-
-gw jauh lebih kuat lagi.
untungnya, de No, akhirnya tau, ketika tiba2 beliau masuk ke dalam kamar gw, melihat, 2 jin itu seperti sudah menunggunya.
konon, de No mendapat bisikan ghaib, bahwa TIANG KEMBAR gw sedang berusaha mencari jalan pulang, malam itu, kami sekeluarga besar
sepakat buat pergi ke Rumah tempat kampung halaman mbah Nang, kabarnya, disana gw bakal di Padus kembang (Mandi kembang 7 rupa)
namun, firasat gw sangat gak enak, dan ternyata tempat itu bisa di katakan, penuh di huni lelembut dengan bentuk dan rupa yg tidak dapat gw jelasin
sejujurnya, gw gak deket sama mbah Nang, karena di antara cucu2 nya, gw yg jarang sekali ngobrol, namun malam ini, mbah Nang menceritakan semuanya.
rupanya, kejadian ini pernah terjadi sebelumnya, dimana satu generasi pernah lahir 2 Mbarep Tunggal, namun sayangnya,
dengan segumpal daging.
namun, alasan sebenarnya gw di bawa kesini, karena bebauan di sekitar sini dapat menyamarkan bau di badan gw yg kata de No ibarat Pandan yg sudah di rebus.
sementara pak Lek gw yg lain, pergi menyusul wanita yg pernah menyelamatkan gw,
tepat di depan gw yg merinding melihat tingkah lakunya.
de No mengatakan, bahwa, harus ada yg di lakukan sebelum gw bener2 siap buat nutup semua ini, di lain hal, pak haji Sanaah yg sebelumnya di cari ibuk, rupanya sudah pindah rumah, padahal, beliau adalah wali gw
gw gak akan pernah melupakan ekspresi terakhirnya..
menyeringai seolah memberi pesan kepada gw, bahwa dia masih ada.. sebuah senyuman yg sampai saat ini bakal gw inget2, bahkan di tengah malam seperti ini..
setelah sosok mbak Yu menghilang, gw mendengar seseorang masuk, rupanya de No, beliau melihat gw, menggendong tubuh gw yg masih tidak dapat percaya dengan semua ini, sontak gw bertanya pada de No, kemana mbak Yu..
dengan wajah seperti enggan memberitahu, de No hanya mengatakan
“wes wes” (sudah sudah) , “lalino kabeh yo” (lupakan semuanya ya)
di luar kamar, masih di dalam rumah Pedopo itu, gw melihat ke kanan kiri, berusaha mencari darimana sumber suara gamelan dan musik2 itu mengalun tadi, namun, gw gak melihat apapun, seolah suara itu muncul begitu-
Pendopo yg seharusnya di kelilingi keluarga besar gw tiba2 menjadi sarang makhluk Lelembut, dan tepat jauh di depan gw, ada seseorang yg tengah duduk di sebuah kursi tua, beliau memiliki rupa seperti mbak Yu..
disanalah gw di minta mendekat, maka meskipun enggan, tubuh gw-
“Ngger, sing sabar” (nak, yang sabar) “
“aku yo tau ngerasak’e opo sing mok rasak’e” (aku juga pernah merasakan apa yg kamu rasakan)”
“ra sah wedi, ra sah khawatir” (gak usah takut, gak usah khawatir)
“mbah” kata gw, “nopo to urip kulo koyok ngene” (mbah , kenapa tah hidup saya seperti ini)
Mbak Yu hanya melihat gw dengan tatapan sedih, dan gw inget, melihat Mbak Yu disana itu seperti di Ratukan oleh kaum mereka, walaupun gw masih gak yakin itu kakak si mbah yg sebelumnya.
“koen eroh sopo sing Mbarep Tunggal sak iki?” (kamu tau siapa mbarep tuggal di keluargamu saat ini)
“Mas Didik” kata gw ragu.
“Bukan” kata beliau, “tu koe” (itu kamu)
(Mbarep Tunggal itu seharusnya kamu, bebanya sangat berat, kamu tidak usah memaksakan kalau tidak kuat menanggungnya, Didik lahir bukan sebagai Mbarep Tunggal tapi pendamping mu)
Gw masih bingung mencerna kalimatnya, lama gw berpikir dan akhirnya beliau mengatakan lagi.
“iling-iling, sopo sing eroh Mbarep tunggal iku?” (coba di ingat2 siapa yg tau sesiapa yg seharunya menjadi Mbarep tunggal?)
“Mbarep tunggal liyane Mbah” (Mbarep tunggal yg lain)
“cah bagus” (Pinter) katanya.
“tapi de No” kata gw masih mencoba menyanggah, dengan senyuman yg menenangkan, gw mendengar hal yg mengejutkan.
“Sebener’e, sak jane Mbarep tunggal iku mandek nang aku ngger” (seharusnya Mbarep tunggal berhenti di saya nak)
“Tapi dasar Pingi iku malah ngelanjutke tradisi ra nggenah sing seharus;’e di akhiri iki” (tapi emang dasar, Pingi (Mbah nang) malah melanjutkan tradisi yg syirik ini padahal ini harus berakhir)”
“Mbah nang, juga alang-alang mbah?”
Mbak Yu mengangguk.
Disini gw akhirnya paham sesuatu, yg berhubungan satu sama lain, “de No apakah?”
Mbak Yu langsung mengangguk “de No juga Alang-alang saja” “memang bedone koyok rambute beludo, tapi nek tradisi iki terus di lakokno, kabeh iki ra isok mari” (Memang bedanya setipis rambut beludo.
.(Hantu di pohon kelapa) tapi bila tradisi ini terus di lanjutkan tidak akan bisa selesai)
“trus sinten Mbah sing dadi Mbarep Tunggal sak jamane, de No niki?” (lalu siapa yg satu generasi dengan de No yg seharusnya menjadi Mbarep tunggal?)
“Bapakmu ngger” (ayahmu ngger)
-, meninggalkan tempat itu.
Di jalan pulang, keluarga gw dan keluarga besar seperti tidak ingin membahas, kejadian itu, gw sempetin untuk bertanya sama bapak, “Pak, bapak dulu juga”
Bapak seperti langsung tau, “Iyo, Bapak lebih parah, awakmu mek ilang sedino, bapak, seminggu”
(kamu Cuma hilang sehari, bapak dulu malah satuminggu)
“berarti, sing di omong’ke Mbak Yu” (berarti yg di bicarakan sama Mbak yu)
“iyo.. bener” (benar.)
-sudah menahan Tiang Kembar gw sejak lama, dan sebuah kebohongan bila Tiang Kembar gw sedang mencari jalan pulang.
Sedangkan Jin Kembar itu hanya mengikuti Ibuk, dan memang berbahaya sejak lama, pak haji Sanah sendiri dulu pernah melihatnya sewaktu ibuk datang ke rumahnya,-
– tidak di sangka ternyata Jin itu tertarik juga dengan gw, itulah alasan de No begitu protektif, mengira bahwa Jin itu akan menjadi jalan bagi Tiang Kembar gw untuk menemukan jalan pulang.
Namun, kejadian itu mempercepat gw untuk pindah ke rumah baru.
Bapak dapat pekerjaan baru, dan kami meninggalkan tradisi itu.
Meski begitu, hubungan baik keluarga gw sama keluarga besar gw tetap terjalin baik. Setengah dari keluarga besar gw juga sudah meninggalkan tradisi itu.
Sekarang, setelah mbah Nang dan de No sudah meninggal, tradisi
-ini di teruskan oleh mas Didik, terakhir kali gw ketemu, mereka masih melakukan tradisi itu meski sudah jarang dan tidak seintens dulu..
Lalu, inget dengan Ndira, temen sekampus gw dulu yg pernah mengatakan ada yg menjaga gw dari jauh dan dia tidak mau membicarakan itu.
Mereka adalah almarhum Mbak Yu, karena setelah peristiwa itu, Mbak Yu meninggal, meski keluarga besar gw menganggap dulu beliau memang sudah sakit keras, dan rela menanggung 2 jin-
Gw pun gak bisa menyampaikan pesan itu pada mbah Nang, karena waktu itu gw masih di pandang sebagai anak2 yg ucapanya tidak akan di percaya.
Kata Ndira di Wetan (Timur) Mbak Yu menjaga gw, sedangkan di kulon (Barat) Kembang Turi, perewangan milik Ibu yg menjaga gw, apapun itu.
. selama mereka memiliki niat yg baik, dan gw gak merasa terganggu, maka gw biarkan saja, tapi Ibuk selalu berpesan sama gw, “Sholat, Sholat. Sholat dan jangan pernah meninggalkan Sholat”
Jadi waktu kejadian gw di bawa ke Pendopo saat bapak dan ibuk mencari haji Sanah,
tanpa sepengetahuan bapak, Ibuk meminta perewanganya yg pernah di kurung sewaktu beliau di ruqiah untuk di lepaskan sebagai pendamping saja. Walaupun alot akhirnya, permintaanya di kabulkan
Namun setiap Ibuk gw Tanya. Ibuk akan berdalih sampai saat ini, bahwa beliau tidak tahu-
-menahu akan hal itu.
Jadi mungkin, gw cuma berpesan saja. Kadang batasan dunia kita sama dunia mereka di buat memang untuk menjauhkan kaum kita dari kaum mereka, dan tentu saja dari perbuatan syirik karena toh, tidak ada kekuatan yg lebih besar dari kekuatan sang pencipta.