-buat merahasiakan identitas, tempat dan semua yg berhubungan dengan beliau untuk kenyamanan bersama.
WARNING: Konten cerita ini akan mengandung beberapa bagian yg mungkin disturbing. jadi, di mohon kebijaksanaan masing-masing.
Tiang Kembar (Dia Bukan Nenekku) – Cerita Horror Misteri Indonesia
(Dia bukan Nenekku)-HORROR THREAD-
bertempat tinggal di salah satu kota besar di jawa timur, Dela saat ini menempuh pendidikan sebagai mahasiswi di salah satu kampus swasta di kota ini.
sore itu, Dela menatap langit, mendung. hujan akan turun sebentar lagi. batinya.
tak beberapa lama, ada suara motor mendekat
“gk di jemput lagi Del” kata seorang wanita yg mengendarai motor matic, menatap Dela dengan senyum ramah.
Dela teringat ayahnya sibuk, ibunya apalagi, sedangkan kekasihnya, tidak dapat datang karena harus bekerja shift.
“bareng aja, kebetulan gw lewat rumah lu” ajak si gadis.
di tengah perjalanan, Dela tampak tidak fokus dengan apa yg sebenarnya sedang ia fikirkan, ia hanya teringat satu orang yg membuatnya akhir2 ini merasa tidak nyaman.
“Mbah Wira” begitu. Dela memanggilnya.
“lagi mikir apa?” kata Mega menyadarkan Dela dari lamunan.
“gak ada”
Mega tau, Dela berbohong, namun, dirinya tidak punya hak untuk memaksanya bercerita, kurang beberapa kilometer, hujan mulai turun di sertai kilatan petir yg menyambar, namun Mega tetap melanjutkan perjalanan.
“terabas saja ya, biar cepat sampai”
“nggih” kata Dela,
motor Mega kini berhenti di sebuah Rumah dengan kompleks halaman yg luas, itu adalah Rumah Dela.
“gak mampir?”
“Gak Del, lain kali saja, titip salam buat emak, bapak, sama mbah
Wira saja”
“ya sudah, hati hati”
ia membuka pintu, dan mengucapkan salam seperti biasanya. “Assalamualaikum” katanya, namun, kegelapan dan keheninganlah yg justru menyambutnya.
Dela mencari saklar lampu, menekanya namun rupanya listrik tidak juga menyala, di dalam kegelapan yg menguasai rumah itu, Dela tertuju-
-pada seseorang yg tengah duduk. begitu gelap, sehingga Dela harus mendekatinya, rupanya, ada seseorang selain dirinya di rumah ini, tapi, kenapa ia tidak menjawab salamnya.
selain keluarganya, di rumah ini tinggal Mbak Ningsih, asisten rumah tangga yg sudah bekerja 3 tahun
namun, jam 5 sore adalah batasan waktu bagi mbak Ningsih dalam bekerja, karena beliau seharusnya sudah pulang, jadi, siapa yg sekarang sedang duduk membelakanginya,
“Mbok” panggil Dela seraya mendekat, sosok itu hanya diam, namun semakin Dela mendekat terdengar suara menangis-
“TOLONG NDOK, TOLONG” kaget, karena apa yg Dela lihat adalah Mbah Wira yg tengah menangis melihatnya.
sebelum akhirnya, Dela terbangun begitu saja dari mimpinya.
sudah lebih dari 5 kali, Dela di hantui mimpi yg sama, berulang-ulang, seolah mimpi itu mengandung pesan.
kenapa dengan si mbah, kenapa Dela selalu melihat si mbah menangis, padahal, mbah Wira saat ini baik2 saja dan tinggal bersamanya. kecuali, Dela teringat ada yg janggal
semua di mulai di hari itu.
Hari dimana Mbah Wira mengatakan, “Mbah ketemu cah ayu, Del, cah ayu sing ngancani si mbah nang kene”
(Mbah bertemu perempuan cantik, Del, sangat cantik yg menemani mbah disini)
setelah hari itu. mbah Wira jadi berubah.
suatu Sore, bu Ida yg merupakan ibunya Dela memanggil.
“Del, kamu gk lihat ayam di kulkas, kok gk ada?”
“Dela gk lihat buk,”
“ya sudah, mungkin ada yg ambil. ibuk belanja dulu” bu Ida pergi, Dela kemudian kembali ke kamarnya, namun, ketika ia melewati kamar mbah Wira,
karena setiap kali di tegur, mbah Wira akan melotot dan mengatai bahwa mereka anak durhaka.
lagu2 tembang jawa yg di dengar mbah Wira juga asing di telinga Dela, meski ia tau beberapa kosakata jawa kromo inggil namun beberapa kalimatnya ada yg asing, seolah itu tembang lama
puncaknya, ketika Mega datang ke rumah Dela untuk mengerjakan tugas kampus, baru saja Mega masuk dia langsung tau ada yg tidak beres di rumah ini.
“kenapa Meg?”
“kamu cium bau amis gk sih?” kata Mega sembari menutup hidungnya.
“gw gk cium apa2”
“bau bangkai ini” kata Mega
Mega tiba2 nunjuk ke salah satu kamar, yg rupanya adalah kamar mbah Wira.
“kenapa Meg?” kata Dela
“baunya dari sini del”
ragu diselimuti rasa takut, Dela hanya tidak tau, kenapa dari sekian banyak kamar, Mega justru menunjuk kamar mbah Wira.
“gw penasaran, bau apaan sih ini”
“busuk sekali baunya”
tanpa tau apa yg terjadi. Mega sudah melesat masuk, mencari dimana sumber bebauan itu, sampai matanya tertuju pada ranjang mbah Wira, “disini del baunya”
Dela yg sedari tadi hanya termangu, melangkah masuk dengan bimbang, ketakutan menyelimuti pikiranya
hari ini, pak Imron dan bu Ida membawa mbah Wira ke rumah saudara, meski begitu, kamar ini seolah memberi sentuhan magis dan langsung menolak kehadiran Dela, 2 kakinya gemetar tanpa sebab.
“bantu angkat nih kasur” kata Mega, mencengkram ujung kasur, Dela segera membantu.
“apaan ini Del” Mega mulai pucat
“Meg, prgi saja ya dari sini, gw takut. takut banget”
“takut apa?” Mega semakin penasaran
“Mbah Wira Meg, akhir2 ini beliau bertingkah aneh, gw takut, takut aja setiap lihat dia”
“ini kok bisa kaya gini.. ada ayam mentah juga” Mega menunjuk-
rupanya benar, pak Imron dan bu Ida telah pulang, di belakangnya, mbah Wira juga ada, berdiri menyambut tamu yg tak di undang.
hanya butuh sekali lihat, Mega tahu, di hadapanya, bukan sosok hangat mbah Wira yg selama ini dia kenal, melainkan.. sesuatu yg hitam tengah menatapnya
“onok opo to nduk, kok ndelok’e koyok ngunu” (ada apa ta nak, kenapa melihatnya seperti itu)
Dela melihat gelagat yg aneh pada Mega, belum pernah wajahnya berekspresi tercekat sepeti ini, seolah ia baru saja di cekik oleh kekuatan yg tidak terlihat.
merasa semua ini bukan hal baik, Dela mengajak Mega masuk ke kamar, disana, ia masih bisa melihat, Mega mencuri pandang dari mbah Wira
“ada apa Meg, kok lu jadi aneh gini”
“gak papa Del” kata Mega, beberapa saat kemudian, rumah itu menjadi sesak bagi Mega, ia sadar dalam bahaya
“Del, gw mau pamit ya, gw ada urusan lain”
Dela yg mendengar itu tau, ada yg di sembunyikan oleh Mega, namun dia tidak punya kewenangan dalam menghentikan temanya itu.
“soal tugasnya, tadi aku naruh kertas di halaman 112, buka aja nanti” kata Mega, buru2 menyerahkan buku
“gak pamit sama bapak, ibuk”
“boleh” kata Mega,
sesaat, Mega terhenti di depan kamar mbah Wira, terdengar nada sair jawa yg familiar di telinganya, sairnya, menunjuk pada “kemalangan dan nasib buruk bagi mereka yg tidak tau unggah-ungguh” (sopan-santun)
suara motor Mega perlahan menghilang, penasaran dengan ucapan Mega, Dela membuka isi buku Mega, disana, tertulis sebuah kalimat “Mbah Wira bukan nenekmu!!”
saat itu juga, handphone berdering, seseorang menelpon Dela, ketika melihat nama kontak pemanggil, Dela pucat pasi melihat
Mega memanggil.
di angkatnya telpon itu, rupanya, itu bukan Mega, suaranya adalah suara seorang lelaki, dengan nafas terburu-buru. “mohon maaf, di kontak darurat ada nomer ini, pemilik hape ini baru saja kecelakaan, menerabas pohon dan saat ini tengah kritis”
Dela hanya tercekat beberapa detik, menelpon orang tua Mega, lalu bergegas keluar, tepat setelah membuka pintu, Dela terdiam menatap mbah Wira tengah bersenandung tembang jawa
“Ing iling, waspodo lan ati2 karo sesunggohone yen ra eroh opo2” (ingat2 wspada dan hati2 pada sesuatu
yg bilamana kamu tidak tau apa2)
Mbah Wira tersenyum memandangnya, Dela berlari melewatinya. ia semakin yakin, mbah Wira bukanlah neneknya.
Dela di beritahu, kondisi Mega kritis, sebelum di bawa kesini, Mega muntah darah banyak, tapi yg mengkhawatirkan tentu darah yg keluar dari telinga kirinya, ini, sudah menjadi masalah serius.
Dela hanya tidak mengerti, kenapa tiba2 saja seperti ini.
rupanya, Malam itu Dela berniat untuk menghadapi ketakutanya, meski di selimuti ketakutan, Dela memberanikan diri masuk ke kamar mbah Wira, beliau sedang melihatnya, tampak tengah menunggu.
“panjenengan sinten?” katanya lantang
“wes eroh to ndok, sopo sing ndudui, kancamu iku, piye sak iki?? wes mati?” (sudah tau kamu nak, siapa yg ngasih tau, temenmu, bagaimana keadaanya? sudah meninggal?)
tidak tau apa yg baru saja Dela dengar, dia seperti mematung di hadapan sosok yg menggunakan tubuh neneknya
Malam itu juga, Dela menceritakan semuanya ke pak Imron dan bu Ida, di luar dugaan, mereka juga merasakan hal yg sama.
“Pak, kayaknya ada yg salah sama ibuk, aku pernah lihat ibu makan kembang, tak kirain untuk apa, tapi kok ngeri pak”
pak Imron yg merupakan anak kandungnya,
terdiam memikirkan sesuatu
“besok bapak cari bantuan, bapak punya kenalan yg bisa bantu”
dari kamar mbah Wira terdengar suara keras menyentak “GAK USAH NGUSIR AKU KOEN KABEH” (gak usah ngusir aku kalian semua)
malam itu, pak Imron mengunci pintu kamar mbah Wira saking takutnya
bila dengan mengunci kamar mbah Wira sudah menyelesaikan masalah sepertinya pak Imron salah besar, setelah pintu di kunci, mbah Wira tertawa sembari berujar dengan bahasa jawa yg sanguk (mengerikan) sepeti orang mengutuk.
“Menungso koen kabeh bakal kenek imbas’e”
(manusia seperti kalian semua kelak akan kena batunya) dan tepat setelah mengatakan itu, listrik seolah mati total.
malam itu juga, pak Imron langsung menghubungi kenalanya, sembari mereka bersama keluar dari rumah itu. bingung, pak Imron menunggu sampai ada mobil datang
rupanya itu adalah teman kerja pak Imron, baru saja beliau turun dari mobil, beliau langsung istighfar.
“Astaghfirullah, mron, ada apa ini. kenapa rumahmu banyak sekali demitnya”
bingung, pak Imron menceritakan semuanya.
“mbah Wira, sejak kapan? kenapa kamu gak ngasih tau”
hanya berbekal membaca doa, kawan pak Imron melesat masuk ke rumah, istighfar kembali terdengar, rupanya di setiap sudut di penuhi bangsa alus seolah2 disini sedang ada pesta yg di adakan.
“gini saja” kata kawan pak Imron, “kalian semua pergi dari sini, besok kita kembali”
“malam ini, firasatku buruk Mron, yg sekarang ada di kamar itu” beliau menunjuk kamar mbah Wira, “berbahaya”
mbah Wira kembali berteriak di dalam kamar. “AYO MRINIO KOEN CAH AMBU PARE, ILMU JEK DANGKAL KOEN WANI NANTANG AKU”
(Ayo kesini kamu anak bau pare, ilmumu masih dangkal tapi berani nantangin aku)
Malam itu juga, rumah pak Imron di kunci, sementara mbah Wira terus berteriak kesetanan, untung saja tetangga tidak ada yg bangun.
mereka pergi menuju rumah kawan pak Imron.
“sejak kapan mbah Wira seperti ini?”
bu Ida dan pak Imron hanya diam mematung, tidak tau darimana semua berawal, Dela yg mendengar itu menjawab, “Sejak si mbah cerita katanya dia sering di datangi wanita cantik di dalam mimpinya”
pak Sugeng tampak berpikir, kemudian beliau-
-mengambil handphonenya.
“saya punya kenalan, yg punya pengalaman melawan Jin Rhib seperti ini” kata pak Sugeg
“Jin Rhib itu apa toh geng?” tanya pak Imron.
“Jin yg keras kepala, sukar keluar kalau sudah masuk tubuh manusia, masalahnya, mbah Wira bisa sampai di rasuki seperti-
in, lho kok bisa tah?? Mbahmu itu, getihe anget, rajin sholat, bagaimana mungkin masih bisa, semoga tidak seperti yg saya pikirkan”
“apa yg kamu pikirkan geng?”
“saya takut, mbah Wira ikhlas menyerahkan diri secara sukarela sama Jin itu. semoga tidak. berdoa saja kalian”
“memang apa yg terjadi pak kalau si mbah ternyata memang berserah pada jin itu”
pak Sugeng diem lama, dia menatap semua orang, wajahnya tegang.
“Susah itu dek” katanya “kalau mbah Wira memang sengaja secara sadar pasrah jin itu masuk, itu artinya kemungkinan kecil bisa keluar-
-cari tahu, malam ini kalian tidur saja disini, biarkan saja mbah Wira disana, dia akan baik2 saja, Jin itu tidak akan melukai tubuh inangnya, besok setelah kawan saya datang, kita coba pelan2 semoga Allah melindungi kita”
Dela masih termangu menatap langit2 kamar, ada sebuah-
rupanya, malam itu Dela bermimpi.
wanita cantik yg konon sering ia dengar dari mbah Wira datang menemuinya.
wajahnya cantik sekali, sampai Dela tidak tau harus menjelaskan seperti apa parasnya.
wanita itu tersenyum, menyapanya dengan lembut kemudian berujar, “Dela, mau ketemu si mbah?” katanya,
pertanyaan tiba2 itu membuat Dela begidik ngeri, meski kecantikanya tak terbantahkan-
-namun, wanita itu seperti sedang mencoba menjebaknya.
“sini, tak anterin ke si mbah kalau mau ketemu, si mbah kangen sama Dela, Dela juga kangen kan?”
bersiap untuk menyambut tangan, Dela terbayang wajah mbah Wira yg menangis, ia menarik ulur tangan itu, ketika ia terbangun
pak Sugeng ada disana, menyentuh kepalanya sembari membaca ayat kursi, “astaghfirullah” katanya dengan keringat di keningnya.
Pak Imron dan bu Ida menatapnya, menangis melihat Dela, yg meraung2. Dela tidak tau apa yg terjadi, karena ia tidak sadarkan diri dalam tidurnya.
“kamu gk papa nak” peluk bu Ida, tangisnya pecah.
“saya kecolongan, sudah ku duga jin ini gak maen2 kalau mencelakai orang” pak Sugeng menatap Dela, “kamu mimpi apa dek?”
“wanita cantik ngajak saya ketemu si mbah” kata Dela tergagap, wajahnya masih tegang.
“kamu terima tawaranya?” tanya pak Sugeng.
“mboten pak, tadi saya langsung lari, dia sempet ngejar saya, tapi si Mbah nolong saya, beliau bilang, jangan ganggu keluarga saya”
Dela menangis sejadi2nya.
“sudah ku duga” kata pak Sugeng, “mbah Wira menyembunyikan sesuatu. kamu tidur lagi saja dek, kali ini, jangan lupa doa nggih, minta pertolongan sama Allah”
Pak Sugeng pun pergi meninggalkan kamar itu.
besoknya, datang seseorang masih muda, beliau menyapa dengan ramah, rupanya beliau adalah kenalan dari pak Sugeng yg di ceritakan semalam.
“namanya mas Iwan, dia dulu mondok di pondok pesantren Al-****** , beliau datang jauh2 kesini ingn membantu”
pak Imron menyambut salam-
-hangat itu.
di jalan, pak Sugeng menceritakan semuanya, pak Iwan hanya magut2 saja.
sesampai di rumahnya pak Imron, mas Iwan langsung merasakan sentakan tidak enak.
“Banyak sekali penghuninya” kata mas Iwan, siang bolong ia melihat kesana-kemari,
“sebelumnya tidak begini” kata pak Sugeng, “tampaknya Jin Rhib ini berusaha mengumpulkan sebanyak2nya pengikut”
tanpa basa-basi, mas Iwan langsung menuju kamar mbah Wira, begitu pintu di buka, mas Iwan kaget bukan main melihat kondisi mbah Wira yg tengah duduk menyantap
bangkai kucing.
“Astaghfirullah” kata mas Iwan, disaksikan oleh pak Imron dan pak Sugeng.
mas Iwan mendekati mbah Wira yg menatapnya tajam, dengan gigi kemerahan dari darah daging kucing yg ia santap hidup2.
“Assalamualaikum” sapa mas Iwan.
namun, mbah Wira tak menjawabnya
“Assalamualaikum” lagi, namun tetap tidak di jawab.
“Assalamualaikum” ketiga kalinya, mbah Wira menjawab, “Waalaikumsallam” namun suaranya, bukan suara mbah Wira, melainkan suara menyerupai suara seorang pria.
“panjenengan sinten, lan enten nopo panjenengan ten mriki?”
(anda siapa? dan ada urusan apa anda ada disini?)
“AKU DI UNDANG” jawab mbah Wira.
“sinten sing ngundang?” (siapa yg ngundang?)
“GAK ONOK URUSAN AMBEK AWAKMU” (gak ada urusan denganmu)
“penjenengan saget jawab salam kulo, sak niki kulo nyuwun tolong, panjenengan metu ambek-
-rencang2 panjenengan, saget?” (anda bisa menjawab salam saya, sekarang saya ingin meminta tolong, bisakah anda pergi bersama teman2 anda? bisa?)
Mbah Wira tiba2 berteriak keras sekali, lalu, ia menatap mas Iwan dengan sengit, kali ini, ia mengerang seperti macan.
pak Sugeng memberitahu pak Imron yg tampak kebingungan.
“yg barusan adalah jin munafik. dia ikut masuk kedalam tubuh mbah Wira, sebenarnya ada banyak sekali yg sudah masuk, tujuanya cuma satu, jin Rhib ini, sedang bersembunyi di antara mereka”
Pak Imron tidak dapat percaya,
-namun, dengan melihatnya secara langsung ia harus merubah pikiranya, bahwa hal di luar nalar ini rupanya nyata.
mas Iwan meraih botol minum yg sudah ia bawa, di siramkan air itu sembari beliau berdoa, seolah terbakar, mbah Wira merangkak seperti macan, menjauhi mas Iwan.
mas Iwan menatap mbah Wira, matanya mendelik seolah memberi ancaman, dan mbah Wira terus meraung marah, suaranya nyaris sama seperti harimau betulan, “Pak, permintaan saya tadi sudah di bawa kan?”
pak Sugeng mendekat, memberikan kain kafan yg sudah di robek membentuk siluet tali
“tolong bantu saya pegangi ini pak” kata mas Iwan.
pak Sugeng dan pak Imron langsung menangkap mbah Wira, kaget bercampur bingung, tenaga mbah Wira bukan main kuat, bagaimana mungkin wanita yg sudah berumur bisa membuat 2 lelaki dewasa seperti tersudut.
mas Iwan, menyentuh-
-kening mbah Wira sembari memanjatkan ayat2, raungan mbah Wira semakin keras, namun, dengan begitu mbah Wira mau di tuntun ke atas kasur, di ikatnya kaki dan tangan mbah Wira dengan tali kain kafan di 4 tiang ranjang.
masih mengaum marah, mas Iwan kemudian kembali membaca ayat2
-akan bisa memaksaku keluar)
“apakah itu jin nya mas?” tanya pak Imron, wajah mbah Wira mendelik dengan senyum mengejek, seolah2 apa yg di lakukan mas Iwan gk berguna.
“bukan pak” kata mas Iwan, “ini jin lain, saya akan coba memaksanya keluar tapi saya butuh waktu”
mas Iwan mengambil telur ayam, di letakkanya telur itu di bawah bayang (ranjang) kasur, kemudian beliau kembali membaca ayat2, aneh, meski wajah mbah Wira meringis menahan sakit namun ia masih tersenyum seolah membukikan bahwa ia tidak dapat di kalahkan.
yg terakhir,
begitu selesai, mas Iwan keluar dengan wajah masam. pak Imron seolah tau apa yg akan di katakan mas Iwan.
“mohon maaf, tempat ini sudah di jadikan sarang sama dia (Jin Rhib) setiap saya keluarkan satu, masuk lagi untuk menggantikan yg lain, dan itu terus berlanjut, sehingga-
-saya kesulitan pak”
“lalu bagaimana mas?”
“begini saja, kita bawa dia ke pondok pesantren tempat saya menimba ilmu, insya Allah, banyak yg akan membantu” katanya mencoba memberi harapan.
mas Iwan mengajak pak Sugeng dan pak Imron masuk ke rumah, di atas meja, ada sebutir-
-telur yg di letakkan di bawah ranjang.
“begini pak Imron, mohon maaf, sejak awal saya curiga jin ini sudah menghasut mbah Wira agar menyerahkan raganya secara pasrah, bila telur ini menghitam dan bau busuk, maka mbah Wira benar2 yg menyerahkan tubuhnya, sebaliknya, bila-
telur ini, tampak normal, ada harapan, bahwa jin ini memaksa mbah Wira”
ketika telur di ketuk, dan di keluarkan dari cangkangnya, semua yg ada di sana, kompak menutup hidung. bau busuk telur itu rupanya jauh lebih dari kata busuk, bahkan cairan kental hitam menyelimutinya.
“tanda apa ini pak?” kata pak Sugeng.
“Keluarga bapak yg membawa Jin ini sehingga ia terikat dengan semua kejadian ini” kata mas Iwan tegang.
“lalu bagaimana pak”
“saya butuh sebuah mobil besar, yg mampu memuat 12 orang santri pondok pesantren, mereka akan membantu kita,-
menghadapi petaka ketika kita di jalan”
pak Sugeng menatap pak Imron, “sudah, sebaiknya kamu cari Bus yg bisa di sewa, perjalanan ini akan sangat sulit bahkan berbahaya, untuk keluargamu, untuk kita semua”
“keluarga saya pak” pak Imron bingung.
“nggih keluarga panjenengan” kata mas Iwan, menegaskan.
sepulang dari sana, pak Imron menceritakan semua kepada Dela, kepada bu Ida, mereka pucat, berpikir, bagaimana kejadian ini bisa menimpa keluarga mereka, apa yg sebenarnya terjadi.
begitu mata mereka bertemu, Dela memeluk Mega, dan kemudian Mega menceritakan semuanya.
“mbah Wira Del, dia bukan mbahmu” kata Mega, suaranya gemetar menceritakanya.
“siapa yg lu lihat Meg? kok lu kayanya ketakutan gitu?”
“Sumpah Del, demi tuhan itu bukan mbahmu, percaya del”
“iya, gw percaya” kata Dela menenangkan. “apa yg lu lihat Meg sebenarnya?”
“gw gk tau del, wajahnya gk bisa aku gambarin, gw gk pernah ketemu makhluk semengerikan ini Del, bertanduk mirip kerbau, besar dan hitam, tapi, suaranya seperti suara perempuan, gw di ancam Del”
“di ancam bagaimana?”
“dia bilang, gw gak boleh ikut campur, karena kalau gw ikut campur, dia akan ngejar gw Del, gw takut, makanya gw ngebut, dan rupanya gw gk sadar di depan ada pohon. gw gk inget apa yg terjadi tapi gw masih bisa bayangin wajahnya di depan gw”
“sekarang gimana? dia masih ngejar lu”
Mega menggelengkan kepala, “Del” kata Mega, “gw mimpi. di mimpi gw, ada mbah Wira, dia lagi nangis, suaranya kaya minta tolong Del. tolongin mbah Wira del, tolongin. kasihan dia”
Dela hanya termangu memandang Mega.
anak2 itu rupanya para santri dari pondok pesantren mas Iwan, setelah mas Iwan masuk ke bus, yg lain mengikuti, termasuk pak Imron sekeluarga.
“apa tidak sebaiknya kami pakai mobil sendiri saja mas” kata pak Imron
“jangan, sudah, lebih baik di bus saja semuanya” kata mas Iwan
disana, mbah Wira di ikat dan mendelik ke semua orang. wajahnya menatap marah pak Imron dan mencaci maki dia bahwa dia anak durhaka yg memperlakukan ibunya seenak jidatnya.
Dela belum berani menceritakan ini pada mas Iwan dan yg lain, namun sesekali ia melirik wajah mbah Wira
setiap kali Dela meliriknya, ia melihat mbah Wira juga menatapnya. tersenyum seakan2 menyapanya.
Bus mulai meninggalkan rumah pak Imron, suara para santri lantang berdoa membaca kertas yg sudah di bagikan mas Iwan, bus itu seperti bus yg kesemuanya menjadi seperti pengajian.
-jauh ke timur.
mbah Wira hanya tertawa, masih terus mengumpat dengan bahasa jawa, dan seolah apa yg mereka lakukan sia2 belaka, sampai, tepat di jalanan tengah hutan, Dela melihatnya, sepanjang jalan, dia bisa lihat di luar, di samping pohon2 hutan ia di awasi, di ikuti
lalu, Bus mendadak berhenti begitu saja.
mas Iwan, meminta semua tetap membaca doa, sopir Bus melihat ke arah pak Imron. “maaf pak, Busnya tiba2 berhenti”
saat itu, gemuruh suara terdengar, membuat para santri seperti tersentak, di ikuti suara tawa melengking, mbah Wira-
-menunjuk mas Iwan, kemudian berkata “Musibah iki gak bakal mari, sampe aku oleh siji teko kabeh wong seng gok kene” (musibah ini tidak akan berhenti disini, ia akan mengikuti setiap dari kalian yg ada disini)
“Bissmillah, pak. ayo coba jalan lagi” kata mas Iwan tenang
“Astaghfirullah hal’adzhim” kalimat itu terus terdengar dari mulut si sopir, setiap ia melihat jalan, ia akan berucap itu kembali.
sebenarnya, tidak hanya itu. semakin malam, entah kenapa semakin dingin, dinginya bukan karena suhu turun namun ada energi negatif yg begitu kuat
seolah2 menahan mereka agar tidak lanjut. sampai akhirnya, hal yg paling tidak di inginkan terjadi, ban Bus sempat bergesek hebat di jalan yg sudah sepi itu, untung saja, Bus mampu berhenti tiba2, rupanya mas Iwan menyadari sesuatu.
“alhamdulillah” katanya
bingung. pak Imron bertanya “maksudnya bagaimana pak?”
“pak sopir, tolong di cek ban atau mesinya, sekarang nggih, yg lain tetap di dalam bus, monggo pak Sugeng ikut saya” kata mas Iwan, tanpa menunggu waktu lama, pak Sopir memeriksa ban satu2, dan benar saja, ada satu Ban yg-
-kondisinya tidak memungkinkan untuk kembali berjalan, pak sopir lantas bertanya “apa maksudnya ini pak?”
“sudah, sekarang kita ganti banya, untung saja, kejadian ini tidak menimpa kita di depan sana?!” mas Iwan menunjuk jalan di depan.
“kenapa pak?” tanya si sopir
“di depan sana, ada jurang yg kalau kondisi ban tidak prima, mungkin akan membahayakan nyawa kita”
di bantu pak Sugeng, segera mas Iwan dan pak Sopir mengganti Ban yg besar itu, sementara Dela, melihat mbah Wira berbicara denganya, “Nduk, mbah kangen”
namun bu Ida dan pak Imron memegang lengan Dela seolah menolak untuk mendekatinya.
“iki si mbah ndok, Delia, namamu yg ngasih aku ndok” katanya.
“iku si mbah pak, buk. Dela mau mendekat!!”
“jangan!!” kata pak Imron tegas.
“jahat sekali kalian sama ibu;mu yg melahirkan kamu!! jahat!” ucap mbah Wira dengan suara bergetar.
Dela mulai menangis, memohon di ijinkan mendekat, sampai ada seorang santri mendekatinya, “pendusta !! sampeyan pendusta!!”
saat itulah, Dela sadar, sosok di depanya menyeringai
Bus kembali melaju, dan benar saja, di kiri jalan hampir sepanjang 12 KM, itu jurang, pak Sopir tidak berhenti beristighfar, seolah kejadian malam ini merupakan pengalaman yg membuatnya tidak percaya.
sementara mbah Wira kembali tertawa2, membuat suasana kian mencekam
wajah mbah Wira mulai berubah, awalnya dimana ia terlihat pongah, sombong, kini meraung meminta di lepaskan, dan mengancam akan mencelakai mbah Wira semakin jauh, bila ia tetap di paksa ikut.
pak Imron sedari tadi khawatir dengan ancaman itu, namun mas Iwan justru menantang
“mbok pikir aku iki gak reti ta nek awakmu mek nggertak tok” (kamu pikir saya tidak mengerti kamu hanya menggertak)
suara meraung semakin terdengar, di ikuti para santri, Dela berjalan tepat di belakang pak Sugeng, bu Ida dan pak Imron ada di belakangnya.
suasana pesantren itu-
rupanya tidak seperti yg ia bayangkan, di kiri kanan, ia bisa melihat pohon dimana2, selain itu, perasaanya semakin tidak enak, sampai, Dela, yg awalnya baik2 saja, semakin lama, semakin berat, dan ia tidak ingat apa yg terjadi selanjutnya.
yg ia ingat, rupanya, Dela pernah-
-melihat wajah Jin yg merasuki mbah Wira, sekarang ia tahu, hubungan apa yg terjadi sehingga keluarganya terseret masuk dalam lubang masalah ini.
bu Ida lah penyebab utamanya.
“nak Dela sudah sadar?” suaranya lembut, dan begitu membuat segan, ia tahu namanya mungkin kedua orang tuanya yg memberitahu. pikirnya, namun rupanya, mbah ini memang sudah tau semuanya.
“kalau nak Dela sudah merasa baik, mbah tunggu di depan di padepokan dekat masjid. semuanya”
di bantu mas Iwan, mbah asing itu meninggalkan kamar.
bu Ida mendekati Dela, namun Dela langsung mengatakanya, “Buk, ibuk ngambil apa di tempat itu? tempat kita meginap waktu di gunung K***D.
bu Ida tampak terkejut namun, ia tidak menjawab pertanyaan Dela.
pak Sugeng tiba2 masuk. “apa Dela sudah baikan? Mbah Fatonah, memanggil kalian”
Pak Imron, bu Ida dan Dela segera pergi, ia masih memandang ibunya. tatapanya menyelidik.
di padepokan, terlihat seperti tempat mengaji kitab kuning, lantainya terbuat dari kayu jati yg di sepuh, sehingga halus. disana, Mbah Fatonah, mas Iwan sudah menunggu, di depanya ada kopi hitam, dan sebutir telur.
pak Imron seperti sudah tau apa yg akan di lakukan mbah Fatonah
-dapat membantu banyak. tapi, saya akan coba sebisa mungkin, dan semoga Allah memberikan kemudahan”
tangis pecah, Dela dan bu Ida berpelukan, sementara pak Imron, hanya menutup matanya dengan tangan. padepokan mendadak hening, hening sekali.
“sebelumnya saya hanya mau memastikan dulu” ucap mbah Tonah, menatap pak Imron, bu Ida dan Dela bergantian.
“sebelum kejadian ini menimpa kalian adakah di antara kalian yg bermimpi bertemu dengan wanita yg cantik?”
Dela langsung mengatakan “nggih mbah, itu saya”
“nak Dela tau siapa wanita ini?”
Dela menggelengkan kepala, “nak Dela” kata mbah Tonah, “coba mendekat”
ketika Dela mendekat, mbah Tonah membaca ayat serta memijat tengkuk Dela, dan betapa terkejutnya, mendadak perutnya mual, dan Dela memuntahkan sesuatu.
“Astaghfirullah” ucap semua orang yg melihat, di lantai, ada seperti ikan lele namun bukan lele, besarnya seukuran ibu jari, dan panjangnya sepanjang telapak tangan.
“Nopo niku mbah” ucap mas Iwan yg sama kagetnya.
“sudah ku duga, sebenarnya yg di incar sejak awal, itu Dela”
kemudian mbah Tonah menatap bu Ida, “bu Ida bisa cerita, apa yg di ambil dari sebua kamar di penginapan ********A?? mungkin bu Ida bisa mulai bercerita”
bu Ida menatap mbah Tonah, ragu, namun kemudian beliau mengatakan “sebuah kalung mbah”
“kalungnya milik ibu?”
mbah Tonah lalu beralih ke pak Imron dan Dela, beliau mengatakan, “sudah2 jangan ada yg marah, sudah terjadi, tidak ada yg bisa mengulangi waktu, yg sekarang saya ingin tau, dimana kalung itu?”
“itu masalahnya mbah” kata bu Ida, “saya menaruh kalung itu di dalam tas, tapi-
-sesampainya di rumah, kalung itu hilang, sampai sekarang, saya tidak tau ada dimana”
pak Tonah mengangguk. “tidak perlu di cari, karena kalung itu sudah di buang oleh mbah Wira”
-kita, dan semoga berakhir dengan baik”
bu Ida tampak terpukul, tidak ada kalimat yg bisa keluar lagi dari bibirnya. semua orang hanya merunduk, tidak pernah terbayangkan bila rupanya mbah Wira yg menanggung akibat dari semua ini.
sekarang, tinggal jin Rhib itu sendiri yg ada di dalam tubuh mbah Wira.
pintu di buka dan mbah Tonah mempersilahkan pak Imron sekeluarga masuk, ngeri bercampur takut, apa yg di saksikan di luar batas nalar, tangan dan kaki mbah Wira di pasung, wajahnya di temui banyak luka borok
tidak hanya itu, bau busuk yg menyengat membuat siapapun yg menciumnya tidak akan bisa tahan, mual itu yg di rasakan Dela, samping kiri kanan banyak darah dimana2, “enten nopo niki mbah?” (ada apa ini mbah?) tanya pak Imron,
“sabar mas, ini ulah jin Rhib, dia sudah tersudut”
kata mas Iwan menenangkan
Dela yg pertama mendekati, dirinya tidak tau lagi harus berkomentar apa, meski semua ini terdengar gk masuk diakal, namun jauh disana dia masih melihat bayangan si mbah, mungkin beliau sangat tersiksa, sampai Dela melihatnya dengan jelas, mata mbah Wira
sepenuhnya hitam legam, tidak ada putih di matanya. ia meraung setelah melihat Dela, memohon agar ia di lepaskan dari belenggu ini, namun Dela tau, itu bukan mbah Wira.
mbah Tonah duduk di sebuah kursi tua, beliau merangkul tongkatnya, menghadap mbah Wira dengan tenang, sebelum
tertidur.
semua tampak kaget, kenapa mbah Tonah tiba2 tertidur, mas Iwan dan pak Sugeng, menahan bu Ida dan pak Imron, beliau hanya mengatakan, “disini saja pak bu. biar di urus sama mbah Tonah”
tiba2 seperti petir di siang bolong, mbah Tonah terbangun, berbicara dengan bhs-
-Arab. suaranya melengking seperti wanita.
Dela yg menyaksikan itu, kaget, setengah merinding, ucapan mbah Tonah tertuju pada sosok di hadapanya, rupanya, mbah Wira bisa menjawab ucapan bhs Arab itu, mereka sama mengobrol namun dari nada suaranya sangat sengit.
mas Iwan menjelaskan, mbah Tonah sudah memaksa jin itu memberitahu dimana mbah Wira di sembunyikan, namun jin ini jauh lebih dari keras kepala, karena memang sejak awal, jin ini sudah cocok dengan mbah Wira, namanya juga tiang kembarnya.
rupanya, Jin itu tetap tidak mau memberi-
-tahu.
dan mbah Tonah tertidur kembali, begitu beliau bangun, mbah Tonah, berujar pada pak Imron, “saya ingin berbicara dengan anda, dan hanya anda saja. mari ikut saya”
Lama, Dela tidak meihat pak Imron dan mbah Tonah, sekitar jam 2 dinihari, mereka kembali, namun,
wajah muram, terlihat dari ekspresi garis muka pak Imron
“Del. bapak mau ngomong” kata pak Imron. “Dela sayang mbah kan?”
Dela mengangguk, wajahnya terlihat bingung. “begini” kata pak Imron, “hari ini, akan di adakan sholat mayit untuk mbah Wira”
kaget tentu saja. Dela terdiam
“Shalat ghaib pak” kata Dela, “jadi, mbah sudah gak ada”
“begini” kata pak Imron mencoba memeluk Dela “ada harapan dengan sholat ghaib, kita sudah mengikhlaskan si mbah, dan jika kita sudah ikhlas, jin ini, akan ikut lenyap, tapi rupanya, ini bisa memberi jalan ke si mbah untuk-
-pulang. masalahnya, Dela harus siap menerima konsekuensi apapun, mungkin si mbah bisa pulang, tapi akal sehatnya ikut lenyap. namun hanya itu cara satu2nya, bukankah setiap manusia pasti akan mati”
Malam itu. persiapan sholat ghaib di laksanakan saat itu juga.
setelah sholat ghaib, mbah Wira memuntahkan-muntahan hitam, hitam sekali, dan sangat menyengat. dia tidak berhenti memuntahkan itu.
sembari mencoba lepas dari pasak kayu, tulang lehernya seperti baru saja patah, sehingga kepalanya tidak dapat terangkat. ini merupakan kengerian
yg pertama kali membuat Dela sampai tidak bisa melihatnya.
setelah subuh datang. mbah Wira sudah jatuh, entah pingsan atau apa, beliau mengelepar di atas tanah. santri perempuan membuka pasak, membawanya kembali ke pondok pesantren, sementara yg lain kembali untuk menunaikan
adzhan dzuhur berkumandang, pak Imron mengetuk kamar Dela selama tinggal di pondok pesantren, beliau memeluk Dela kemudian mengantarkanya ke sebuah kamar.
bu Ida juga ikut menyambutnya, matanya hitam tampak lelah dan di hantui rasa penyesalan, Dela mencoba menghibur dengan-
-memeluknya, insya allah, semua sudah ikhlas.
mas Iwan dan pak Sugeng sudah menunggu di luar kamar, di dalam kamar, Dela melihat mbah Tonah, setelah mencium tangan beliau, Dela tertuju pada seseorang yg tengah duduk memandang jendela.
mbah Wira duduk. matanya kosong memandang
-keluar.
“mbah” kata Dela, namun tidak di jawab.
tidak berhenti, Dela terus memanggil nama si mbah, namun, sebanyak apapun dia memanggilnya, mbah Wira seperti tidak mendengar siapapun.
disana, mbah Tonah menjelaskan. “saat ini, mungkin mbah Wira sudah kosong,-
“insya Allah, tidak akan ada yg menganggu keluarga kalian kembali. Jin itu tidak akan kembali, dan tidak akan berani, karena tiang kembarnya, sudah runtuh satu”
Siang itu, keluarga pak Imron dan semua yg ada disana. kembali pulang setelah berpamitan dengan semua orang di pondok
-pesantren.
mbah Wira di tuntun oleh pak Imron ketika berjalan, dan beliau menurut saja. tapi tatapanya masih kosong.
sangat kosong. raga tanpa jiwa. penggambaran itu lah yg Dela saksikan.
2 bulan setelah peristiwa itu, Dela bermimpi lagi, mbah Wira kembali, menemuinya dan tersenyum.
begitu ia terbangun dari tidurnya, Dela menemui si mbah yg lebih banyak beraktifitas di dalam kamar, hanya melamun dan melamun, namun, pagi itu berbeda. si mbah Wira bisa melihat-
-Dela, membelai wajahnya untuk terakhir kalinya.
tidak ada yg tau umur manusia, setelah Dela pergi dari kamar itu, siapa sangka, mbah Wira menghembuskan nafas terakhirnya.
Dela hanya bisa menatapnya sedih, tentu saja. namun ia sudah ikhlas, dan jawaban akan senyuman itu
adalah jawaban si mbah yg mungkin sudah berterimakasih pada Dela,
disini, apa ceritanya berakhir. ya, cerita ini memang berakhir sampai disini.
gw gak tau harus nutup thread ini dengan kalimat apa, tapi, mungkin ada kalimat yg sedari tadi gw pikirin.
memang, sebagai seorang manusia mengambil sesuatu yg bukan haknya merupakan hal yg tidak benar, dan gw berharap siapapun yg membaca ini, untuk tidak melakukan hal terpuji semacam itu.
btw, gw udah minta ijin sama narasumbernya, jadi gw sertain SS chat gw sama dia. tapi,
