kekayaanya, gak usah dipertanyakan lagi.
saking kayanya, dimakan 7 keturunanya, gak akan habis, sampe-sampe pemda, ngeblacklist dia buat beli tanah di daerah tersebut, kalau gw sebut daerahnya, pasti langsung ketahuan siapa yang gw maksud. karena kekayaanya sampe sekarang.
gw gak ada maksud ghibah atau apapaun, hanya share cerita tentang salah seorang yang pernah bekerja untuk keluarganya, dan sebenarnya, orang di desa semuanya tahu, tahu akan apa yang gw tulis ini
semacam rahasia umum. tapi balik lagi, pasti ada hikmah di balik cerita ini, semoga
Cerita Horror Misteri Indonesia – Sang ABDI (Sesajen)
“Bakso”
suara perempuan, tidak beberapa lama, terlihat perempuan, parasnya cantik, masih muda, ia memberikan mangkok, sembari menunggu si abang menjajakkan daganganya, di liriknya kaki si pembeli, alhamdulilah, napak tanah, jadi bukan hantu.
sambil basa basi, si abang tanya.
“rumah panjenengan dimana?” “kok gak pernah lihat ya”
si mbak yang beli, menunjuk sebuah rumah, dengan teras yang luasnya gak kira-kira, disana, berdiri sebuah rumah megah, paling megah pada tahun segitu.
diantara rumah lain di desa ini, tidak ada yang tidak kenal rumah itu.
setelah bertanya itu, si penjual bakso kembali basa-basi, mulai bertanya mulai dari siapa mbaknya, sampai ke ranah pribadi
Mbaknya menjawab ala kadarnya, bahwa ia adalah Abdi, si penjual tidak paham maksud Abdi, yang ia pikirkan itu adalah, bahwa ia, bekerja pada keluarga Cipto tadi.
di tengah obrolan sembari menyelesaikan daganganya, tiba-tiba, si mbak, mengatakan sesuatu kepada si penjual.
“besok, lewat sini lagi ya bang, jamnya kalau bisa, jam segini lagi, saya akan beli lagi bang”
setelah itu, si mbaknya, masuk ke gerbang pagar, dan menghilang di balik pintu rumah.
Aneh. baru kali pertama, seorang pedagang keliling, memiliki pelanggan tetap di jam tertentu.
selama hampir 5 hari, si abang lewat jalan itu, dan seolah-olah, pesan si mbak seperti sebuah tanggung jawab yang harus abang itu penuhi.
bahkan, saat daganganya akan habis, selalu ia sisakan satu mangkok hanya untuk menjualnya pada si mbak yang bahkan tidak ia tahu namanya.
di malam yang ke enam itu, saat melewati tempat itu, si penjual bakso, mendengar suara perempuan menangis.
takut. ngeri, suaranya terdengar sangat sedih.
ingin lari dan kabur, namun, terurungkan ketika si abang, terpaku melihat di samping pagar, si mbak yang rupanya menangis.
“Mbaknya kenapa menangis?”
si mbak yang kaget, kemudian berpura-pura bahwa ia tidak menangis, entah apa alasanya untuk meyakinkan abang penjual bakso itu, meski berbohong, si abang tidak mau ikut campur lebih jauh tentang masalahnya.
singkat cerita, si abang kemudian menjajakkan daganganya, malam itu, ia kasih gratis agar si mbak tidak sedih lagi.
saat itu lah, si mbak, lagi-lagi, mengatakan hal yang tidak di mengerti.
“besok abang, gak perlu lewat sini lagi, toh saya sudah gak disini lagi”
mendengar itu, si abang sebenarnya ingin bertanya, apa si mbak berhenti dari pekerjaanya sebagai abdi, atau ia mau pulang kampung.
namun, pertanyaan itu, ia urungkan.
dan benar saja, di malam berikutnya, si mbak tidak ada lagi untuk membeli daganganya.
sudah lebih dari seminggu, si mbak tidak pernah keluar lagi, muncul banyak pertanyaan, kenapa si mbak menangis, kenapa si mbak tidak disini lagi, dan entah bandel atau apa, rupanya si abang tetap lewat jalan itu.
sampai suatu malam, ketika ia lewat jalan itu lagi, mbaknya muncul
“Bakso”
si abang seneng bukan main melihat si mbaknya muncul lagi, tanpa basa basi, di jajakkanya daganganya itu, namun malam itu, si mbak tidak seperti biasanya, wajahnya murung dan tatapanya terus menerus menunduk, tidak hanya itu, bahkan suaranya lebih serak.
“Mbaknya sudah kembali kesini, masih tinggal di rumah itu mbak”
“mboten mas” (tidak mas) kata si mbak, kemudian, ia menunjuk sebuah kebun, disana banyak pohon besar, mulai dari mangga sampai jambu yang masih ada di tanah milik keluarga Cipto.
si abang bingung. apa mungkin keluarga Cipto membangunkan rumah untuk si mbak di tanah itu?
setelah mendapatkan baksonya, si mbak pergi, dan benar, dia tidak masuk ke gerbang rumah, tapi, menghilang di kebun tadi. si masnya langsung kabur.
sesampainya di rumah, si abang gak bisa tidur, terbayang wajahnya si mbak, selain itu, bulukuduknya merinding, dan benar-benar gila, dari samping rumah si abang, ada suara perempuan menangis.
namun, si abang tidak berani memeriksa, ia terus berdoa dan berdoa, sampai tertidur.
siang hari, setelah kulakan bahan untuk bakso nanti malam, si abang penasaran, kemudian ia tidak sengaja lewat jalan itu, tanpa pikir panjang, ia parkirkan sepda onthelnya. lalu masuk ke kebun itu
disana, rupanya hanya ada pohon-pohon yang di tanam campur aduk, tidak ada apa-apa
tidak ada apa-apa, sampai, tercium aroma bangkai
ketika si abang melihat ke atas pohon mangga, si abang terperanjat melihat si mbak, tergantung dengan mata terbuka lebar, lidahnya menjulur keluar, tatapanya, seakan-akan melihat si abang
melihat itu, si abang teriak minta tolong
tahu dimana kejanggalanya??
yang membuat si abang gaguk gak mengatakan apa-apa.
selain semalam si abang melihat si mbak membeli bakso miliknya, waktu antara hilang dan di temukan meninggalnya tidak cocok, karena menurut pihak kepolisian, si mbak kemungkinan sudah meninggal antara kurun waktu 2-3 hari.
jadi, kemana sisa 4 hari keberadaan si mbak berada?
kecuali ada kebohongan tentang hilangnya si mbak. keluarga itu, menyembunyikan sesuatu.
sesuatu, dari maksud 4 hari kemana si mbak berada?? dan tentu saja, pesan terakhir si mbak itu. namun cerita ini, akan di mulai, dari sini.
-Sang ABDI (Sesajen)
berbagai perjalanan sudah ia jabani, mulai dari rute antar kota sampai rute antar provinsi,
semua pengalaman ini, memupuknya menjadi pribadi yang tangguh, dan membuatnya menjadi salah satu orang yang bisa mengendarai, mulai dari mobil pick up, sampai Truk gandeng.
karena dirasa jalan hidup sebagai sopir ekspedisi tidak membuatnya menjadi pria yang mapan dengan segala tuntutan bahwa ia adalah anak pertama yang harus sukses, pak Budi pun berhenti menjadi sopir truk
sebuah jalan terbuka, ketika tetangganya memberitahu, bahwa, keluarga CIPTO-
sedang mencari seorang sopir Pribadi.
semua tahu, siapa keluarga CIPTO, terlepas dari desas-desus yang tersebar, pak BUDI nekat, melamar kerja, dan hari itu juga, ia di terima bekerja disana. karena saat itu, tidak banyak, orang bisa menyetir mobil seperti saat ini.
“monggo, mriki mas” (silahkan, kesini mas) kata bu Asirih lembut dengan logat jawanya.
selama di perjalanan, pak Budi melihat kesana kemari, menganggumi berbagai patung aneh yang ia temui, terpasang di beberapa sudut bagian rumah ini, gaya desainya, benar-benar masih kejawen.
saat itulah, ketika pak Budi menikmati pemandangan itu, matanya teralihkan pada sebuah pemandangan mencengangkan.
diujung matanya, ia melihat seorang anak kecil, seusia adiknya, sedang duduk, di tepi kolam ikan, ia melihatnya lama, dan kemudian teralihkan pada seorang wanita.
ketika bu Asirih membuka pintu, melewati beberapa bagian dalam rumah, sampailah ia, di sebuah ruangan, terlihat seperti Gazebo (Paviliun) yang terbuat dari kayu jati, disana, ada seorang wanita tua, lebih tua dari bu Asirih, ia duduk, di atas kursi goyang.
matanya terpejam.
namun, belum beberapa langkah bu Asirih mendekati si wanita, tiba-tiba ia bicara dan membuat pak Budi tersentak karena kaget.
“iki tah, sing bakal dadi sopirku sing anyar” (ini ya, yang akan jadi sopir baruku)
bu Asirih mengangguk, tidak berbicara, kemudian mencium tanganya.
“Pak Budi, kenalkan, niki ndoro Sasri” ucap bu Asirih, beliau berdiri tegap dan mengepalkan tanganya di depan perut, membuat pak Budi bingung, seakan-akan ia berbicara di depan seorang maharaja saja.
setelah menjelaskan panjang lebar mulai dari gelar, sampai pemimpin keluarga,
saat ini, keluarga CIPTO, di pimpin oleh, ndoro Sasri, setelah kematian Eyang Sarwojo, yang meninggal karena sakit.
penerusnya, yaitu anaknya, adalah Atmojo, dan isterinya Sekar, namun mereka sudah lama tidak tinggal disini lagi, namun ada 5 anaknya yang ada disini.
kesemua anaknya adalah laki-laki, dan saat ini, mereka tinggal di kediamanya masing-masing, kediaman yang di maksud bu Sasri adalah sebuah kamar khusus, yang memang tidak bisa di masuki oleh sembarang orang
mendengar itu, pak Budi hanya diam, yg ia pikirkan hanya satu. Pandhawa
ada satu hal yang orang jawa percaya ketika sebuah keluarga melahirkan 5 anak lelaki atau 5 anak perempuan. itu adalah kutukan pandhawa, dan itu masih di percaya sampai saat ini.
maksud kutukanya adalah, konon, akan ada satu atau dua anak yang tidak bisa mengemban beban lebih.
kesemua Dayang abdi, adalah seorang perempuan.
semua yang bu Asirih ceritakan, membuat pak Budi teringat dengan perempuan yang ia lihat tadi, apakah, anak kecil itu adalah salah satu dari 5 anak itu. bila benar, maka, perempuan yang ada di belakangnya adalah??
selain memberi penjelasan tentang itu, bu Asirih juga menjelaskan tentang hal lain, semua tempat, yang tidak boleh pak Budi datangi
yang paling dekat dengan kamar pak Budi adalah sebuah tempat sanggar Cayang, sebuah bangunan yang hampir sama seperti gazebo, namun ada di seberang
bangunanya bisa dilihat langsung dari kamar pak Budi, jaraknya tidak terlalu jauh, namun, setiap dipandang, entah terlihat menakutkan sekali, seolah ada yang berdiri dipelataran gazebonya.
Pak Budi mengangguk, pertanda ia mengerti, dan hari itu, bu Asirih pergi.
entah sadar atau tidak, aroma bu Asirih, tercium seperti aroma Pandan. mengingatkanya pada sosok kuntilanak, yang sudah sering ia dengar di desanamun, mulai hari ini, ia akan sering bertemu beliau
entah karena bosan atau apa, pak Budi berjalan, mau melihat keseluruhan rumah ini meski hanya dari luar rumah, tapi ia tahu, larangan itu tidak akan pernah ia langgar, jadi pak Budi menghindari Gazebo itu
ia berjalan, menuju ke halaman rumah, tempat melihat anak lelaki kecil itu
ia menelusuri kebun, cahayanya temberam hanya dari lampu kekuningan. berbekal rokok, pak Budi mencoba membuang sepi.
namun, rumah itu benar-benar bukan rumah yang menyenangkan, sejak awal tiba disini, pak Budi masih merasakan bila ia seperti sedang di awasi.
setelah menempuh jalan setapak di kebun, sampailah ia di kolam ikan itu. ada pohon di sampingnya, lengkap dengan kursi kayu di sampingnya, disanalah ia melihat perempuan itu berdiri.
pak Budi kemudian duduk, pandanganya, tertuju pada kolam ikan.
lama ia duduk disana, tiba-tiba, seseorang mendekatinya.
“Mas”
kaget, pak Budi langsung berbalik, dan mendapati perempuan itu memandangnya, masih dengan tatapan tidak mengenakan itu, seolah tanpa ekspresi yang membuat bulukuduk berdiri.
satu hal yang pak Budi ingat sebelum perempuan itu pergi.
“Nek dadi sampeyan, nek wes bengi ngene, luwih apik gak keluyuran mas, sampeyan gorong eroh, opo sing onok nang kene. monggo”
(kalau jadi anda, kalau sudah malam seperti ini, lebih baik tidak kemana2, anda belum tahu-
apa yang ada disini. permisi mas.)
dengan senyuman menyeringai, si perempuan pergi, meninggalkan pak Budi sendiri di dalam keheningan itu. seketika, ketakutan seperti merasuki pak Budi. Rumah ini, benar-benar bukan rumah yang bagus untuk tinggal. batin pak Budi malam itu.
tidak ada yang bisa di ajak bicara layaknya manusia dengan manusia di lingkungan rumah ini kecuali dengan pak Sasongko.
Pria paruh baya yang sehari2nya bekerja sebagai tukang kebun di rumah keluarga CIPTO, selain orangnya yang humoris, beliau juga sering memberikan wejengan.
waktu itu, siang hari terik.
Pak Sasongko memangkas rumput, pak Budi hanya duduk mengawasi, sembari menunggu perintah di hari pertamanya bekerja, untuk membuang sepi, pak Budi, bertanya perihal bangunan gazebo yang terletak di seberang.
mimik wajah cerah pak Sasongko, berubah.
“Masnya sudah pernah kesana?” tanya beliau.
“dereng pak, tapi kulo kok penasaran nggih, niku bangunan nopo toh pak” (belum pak, tapi saya penasaran, sebenarnya, itu bangunan untuk apa)
sembari memangkas rumput, pak Sasongko berpesan.
“lebih baik, gak usah di cari tahu mas, daripada nasib sampeyan nanti seperti” belum melanjutkan kalimatnya, pak Sasongko melirik pak Budi yang melihatnya dengan tatapan curiga
” sinten pak?” (siapa pak?)
“sudah, lupakan saja, kerja saja yang benar ya nak” tutur pak Sasongko.
bu Asirih menemui pak Budi, memberi pesan bahwa, hari ini, ndoro Sasri harus pergi ke rumah sakit untuk check-up, hal ini di lakukan selalu di hari kamis, seperti hari ini.
maka, saat itu juga, pak Budi menyiapkan mobilnya, menunggu, di teras rumah.
“berangkat le” perintah beliau.
saat itu juga, pak Budi langsung menginjak gas mobilnya, perlahan, ia meninggalkan rumah itu. entah perasaan macam apa waktu itu, ketika keluar dari rumah itu, terasa hati menjadi lebih lega, seolah rumah itu membuat pak Budi tidak nyaman.
“le, kerasan karoh Griya mungkih”
Griya mungkih, itu adalah sebutan untuk rumah itu, tidak banyak yang tahu, bahkan warga desa itu sendiri, termasuk pak Budi bila tidak di beritahu oleh bu Asirih tentang sejarah rumah itu.
rumah turun temurun dengan adat yang masih terjaga.
“kerasan ndoro” kata pak Budi.
“panggil buk saja. awakmu guk Asirih, paham yo le” tutur ndoro Sasri, pak Budi pun mengangguk.
sosok ndoro Sasri, benar2 berwibawa, terlepas dari usianya yang sudah renta, beliau masih membuat segan siapapun yang beliau ajak bicara.
kurang lebih 2 jam, pak Budi menunggu, akhirnya ndoro Sasri keluar, ketika sudah masuk ke dalam mobil, pak Budi bertanya, apakah mau langsung pulang atau mampir ke suatu tempat, dengan tatapan tegas, ndoro Sasri memberi sebuah alamat.
saat melihatnya, pak Budi terhenyak sesaat.
“kita kesini buk”
ndoro Sasri mengangguk. tanpa pikir panjang, pak Budi pun melesat ke tempat itu, saat sampai disana, ada beberapa orang yang sudah seperti menunggunya, pak Budi membantu majikanya turun dari mobil, menggandengnya, dan menuju sebuah kamar di gedung itu.
setelah menelusuri koridor panjang, terlihat seorang perempuan, dari cara berdirinya, ia menyerupai perempuan di rumah Griya mungkih, hanya saja, yang ini, wajahnya lebih tegas lagi
entah kenapa, ada ekspresi ketakutan dari cara memandangnya. ia membungkuk kemudian membuka pintu
“beliau di dalam ndoro” cara berbicaranya pun gemetar.
tidak menjawab, ndoro Sasri langsung masuk, di dalamnya, ada seorang pria, berkisar di usia 20’an, hanya saja, sikap dan perilakunya, aneh.
ia hanya duduk, matanya kosong, memandang ke tembok.
pak Budi yang melihat itu, hanya diam, tertegun lama. berbeda dengan pak Budi, si perempuan tampak gelisah, terlihat dari bagaimana ia memainkan jemarinya tanda tidak tenang.
ketika si lelaki tak di kenal itu melihat ndoro Sasri, ia, menjerit.
matanya melotot, ketakutan, ia beringsut mundur, jeritanya juga terdengar aneh, tidak seperti jeritan ketika seseorang berteriak ketakutan atau panik, jeritanya tampak sumbang.
si perempuan yang sedari tadi melihat, seperti ingin masuk ke ruangan itu, namun, ia ketakutan juga.
hal terakhir yang di ingat pak Budi adalah, ndoro Sasri memeluknya, meski kesusahan dengan tongkat di tanganya, ia berhasil memeluk lelaki tak di kenal itu, ada tangis pecah, dan kemudian, ndoro Sasri seperti berbisik sesuatu.
si lelaki yang histeris, tiba-tiba diam.
pak Budi meninggalkan tempat itu, sore hari, ada satu kalimat yang masih di ingat setiap terbayang kejadian itu. perempuan itu, ia bertanya pada pak Budi.
“mas, masnya percaya dengan yang namanya, Jejek” “mumpung, mas nya belum tahu, lebih baik, cari kerjaan lain saja mas”
setelah pekerjaan itu selesai, pak Budi mencoba melupakan semuanya, ia tidak tahu siapa lelaki itu, siapa perempuan yang menyerupai dayang abdi atau apapun itu. belum.
setelah hari mulai petang, pak Budi menunaikan sholat di kamarnya.
mungkin karena tidak fokus atau apa, selama sholat, ia merasa ada wajah wanita tua terbayang-bayang di setiap pak Budi mencoba khusyuk.
namun, itu belum seberapa, di bandingkan, suara tertawa yang khas, seperti terdengar meski hanya sayup lirih. membuat pak Budi teringat-ingat.
suara tawa itu, nyaris atau sama persis seperti suara Ndoro Sasri.
ya. suara itu, terdengar tepat seperti ada di belakang pak Budi.
tepat setelah pak Budi selesai menunaikan shalat, ia terkejut, bahkan tercekat mendengar suara pintu kamarnya di ketuk.
dengan was-was, pak Budi membukanya, di temuilah, bu Asirih, melihatnya. “ndoro ingin ketemu mas” “monggo, njenengan kulo antarke”
(ibuk ingin ketemu mas, silahkan, saya antar)
bingung. pak Budi ijin berganti sarungnya, untuk mengenakan celananya. setelah selesai, pak Budi mengikuti bu Asirih, seperti sebelumnya, tidak ada percakapan antara mereka berdua. seolah pak Budi di biarkan tenggalam sendirian.
kali ini, bu Asirih menuntunya, masuk lebih jauh ke dalam rumah, seolah kali ini adalah langsung dimana ndoro Sasri menghabiskan malamnya.
di tengah perjalanan, tanpa sengaja, mata pak Budi, menangkap sosok anak kecil yang ia temui tempo hari, anak itu, menatapnya. kosong.
ia menatap dari seberang sebuah ruangan, sebelum pak Budi terpaku pada caranya melihat, si perempuan yang selalu bersamanya, tiba-tiba muncul, menarik anak itu, dan menutup pintunya.
suasana rumah itu, benar-benar membuat pak Budi terasing sendirian.
sesampai di kamar, ndoro Sasri seperti sudah menunggu. ia duduk di kursi goyangnya, di depanya, ia membawa sebuah buku.
setelah bu Asirih berpamitan pergi. pak Budi, mendengar majikanya menanyakan sesuatu yang mencurigakan.
“Le, ibuk takok yo. awakmu sholat?”
(nak, ibuk mau tanya. kamu sholat ya?)
pertanyaan itu, dingin. namun, membuat pak Budi tertegun beberapa saat, sebelum ia mengangguk, lalu, ia melihat ndoro Sasri, tersenyum. tidak ada yang tahu, isi hati wanita tua itu.
“bagus” tutur beliau. “ojok sampe ninggalno sholat ya le” (jangan sampai meninggalkan shalat ya nak)
belum berhenti di situ, kemudian, ndoro Sasri bertanya perihal yang lain.
“sing mok delok mau, iku cucuku. jeneng’e Yanu” (yang kamu lihat tadi, adalah cucuku, namanya Yanu)
“Yanu iku asline cah pinter, tapi, wes pirang2 tahun sakjejane, onok sing berubah nang jero’ne ati’ne, sakjake iku, arek’e dadi gak waras”
(Yanu itu aslinya anak yang pintar, tapi sudah beberapa tahun ini, ada yang berubah di mulai dari prilakunya, anaknya jadi gak waras)
“ibuk jalok tolong, ojok cerito sopo-sopo yo, nek onok sing nakoni” (ibu mau minta tolong, jangan ceritakan siapa-siapa ya kalau ada yang tanya)
setelah mengatakan itu, pak Budi melangkah pergi, ia menutup pintu kamar, berusaha kembali ke kamarnya.
naas, pak Budi tidak tahu kemana ia harus berjalan kembali, tanpa tahu, ia menelusuri setiap lorong yang hampir pencahayaanya dari lampu kekuningan, banyak pintu sama yang pak Budi lihat.
manakal ia menuruni anak tangga, pak Budi terhentak saat melihat seorang anak lelaki lain.
“mohon maaf” kata pak Budi, bingung setengah takut. “saya sopir baru disini, bila boleh bertanya, kemana saya harus kembali ke” belum selesai mengatakanya, si lelaki menunjuk sebuah pintu.
tidak menjawab kalimat pak Budi, dan di belakang lelaki itu, lagi-lagi ada perempuan lain.
perempuan itu sama diamnya, hanya melihat pergerakan pak Budi melalui bola matanya.
benar saja. pintu itu langsung menuju ke teras rumah.
tanpa pikir panjang, ia pun kembali ke kamarnya. lelah dengan semua yang ada di rumah ini.
setelah satu minggu bekerja di rumah ini, pak Budi mulai tahu, sesiapa anak lelaki yang ada di rumah ini.
di mulai dari anak kecil itu, hingga anak lelaki yang pak Budi lihat pada malam itu. kesemuanya adalah cucu dari ndoro Sasri, namun meski begitu, pak Budi masih belum paham
dari kesemuanya, pak Budi sudah menghitung 4 cucu dari ndoro Sasri, yang membuat bingung, dimana cucunya yang ke 5..
hal itu, membuat pak Budi begitu penasaran. namun seriring waktu, ndoro Sasri perlahan seperti tengah mengawasi gelagatnya.
Ada hal menarik yang harus banyak orang tahu tentang sosok ndoro Sasri.
Di balik wajah dinginya, ia adalah seorang yang tegas, tanpa banyak basa-basi sedikitpun. Meski begitu, ia adalah orang yang sangat loyal, terbukti ia seringkali memberikan uang kepada pak Budi.
Namun tetap saja. Tidak ada yang tahu isi hati manusia. Terlebih, saat kejadian, di malam itu.
1 minggu, sebelum malam itu. Bu Asirih menemui pak Budi, beliau mengatakan, bahwa ndoro Sasri ingin bertemu, dan saat ini, beliau menunggu di gazebo atas lantai 2.
Sebelum pak Budi pergi menemui ndoro Sasri, pak Budi menatap bu Asirih dengan tatapan bertanya-tanya.
Bertanya-tanya, akan malam sebelumnya, dimana tanpa sengaja, pak Budi melihat bu Asirih pergi ke pondok (gazebo) yang di larang.
Namun, pak Budi hanya mengintip dari celah jendelanya, tidak hanya itu, pak Budi begitu tertarik dengan apa yang dibawah bu Asirih.
Sebuah sesajen lengkap dengan aroma dupa yang sudah di bakar.
Semenjak saat itu, pak Budi semakin yakin. Ada yang di sembunyikan di rumah ini.
(Nak, minggu depan, antar ibuk ya, ke gunung K*********, mungkin nanti akan menginap disana, bisa ya)
“nginep pirang dinten nggih buk” (menginap berapa hari ya bu?)
“isok 3 dino, isok 2 dino. Tergantung, urusane mari po durung?!” (bisa 3 hari, bisa 2 hari, tergantung. Urusanya selesai apa belum?)
“nggih buk. Nggih. Saget,” (ya buk. Bisa) tutur pak Budi.
Bersiap untuk pamit, pak Budi melangkah pergi, namun, ndoro Sasri menghentikanya sejenak.“sek to le, ibuk dorong mari ngomong” (sebentar dong nak, ibu belum selesai bicara)
Pak Budi’pun kembali duduk.
“ngene le, mene pas ngeterno ibuk, gak usah takon aneh-aneh yo. Ibuk gak seneng ambek pitakon sing aneh-aneh, ojok mikir aneh-aneh pisan. Yo. Wes nyupir ae koyok biasa, anggap awakmu ra eroh opo-opo. Ngerti yo le”
Tutur kata ndoro Sasri yang halus seperti memiliki makna berlainan, seolah kalimat itu sudah di persiapkan lama sekali, untuk menekan pak Budi dan membuatnya tidak berbicara apa-apa.
Jadi. Apa yang sebenarnya akan pak Budi lihat.
di siang yang terik, ketika pak Budi sudah menyelsaikan tugas mencuci mobilnya, ia berjalan keliling rumah, meski ada keinginan untuk mendekati Gazebo yang di larang itu, pak Budi tetap menghormati aturan dimana ia bekerja.
berkeliling rumah ini, memberinya sensasi kagum.
setiap bangunanya dibuat semenarik mungkin layaknya rumah2 keraton jawa, karena hampir sepersekian bagianya selalu menggunakan bahan kayu jati solid
di tengah ia berkeliling, ia melihat anak kecil itu. anak yang bahkan sampai hari ini pak Budi bekerja, tidak ia ketahui namanya
pak Budi mendekatinya, berharap bisa menyapanya, karena ia adalah bagian dari keluarga tempat ia bekerja. berbekal permen di kantongnya, pak Budi semakin mendekati si anak.
suara langkah kaki pak Budi, membuat si anak mengetahui kedatanganya. ia menoleh dengan mata bundarnya.
mata mereka saling melihat satu sama lain, pak Budi tersenyum, namun, si anak, menatapnya begitu saja. benar2 cara menatap yang membuat semua orang tidak nyaman.
“dek. arep permen?” (dek, mau permen?) kata pak Budi. si anak masih diam, tidak ada kalimat atau gerak tubuh.
setelah dirasa tidak ada tanggapan, si anak masih tidak juga merespon apa yang pak Budi tawarkan, ada sesuatu yang ganjil yang terjadi pada si anak.
ia tersenyum, menunjukkan 2 gigi depanya yang berlubang, kemudian, ia menunjuk pak Budi.
cara menunjuknya, tidak seperti cara menunjuk anak seumuranya, tanganya gemetar naik turun, seperti layaknya anak berkebutuhan khusus, tidak hanya itu, untuk pertama kalinya, ia mendengarnya bersuara.
suaranya sangat berat namun tak memiliki intonasi nada kalimat benar.
terdengar seperti “Huuuu Haaa Huuuu Haaaa” dan itu membuat pak Budi tidak mengerti sama sekali.
lalu, kejadian itu terjadi.
meski si anak tampak tersenyum memamerkan giginya, ia melihat ada air mata keluar dari 2 bola matanya, seakan-akan ia menangis.
menangis, dengan ekspresi wajah tersenyum.
lalu, si anak membenturkan kepalanya ke lantai, keras sekali, hal itu membuat pak Budi berlari menghentikan si anak.
ia tidak tahu, saat memegang si anak, anak itu meronta meminta pak Budi melepaskanya. kuat sekali, cengkraman anak itu
hal yang pak Budi ingat adalah, ia melihat perempuan yang menjaga si anak datang dengan ekspresi kaget, melepaskan pak Budi dari si anak dan membawanya pergi.
sebelum pergi, ada tatapan marah di wajah si perempuan kepada pak Budi, hal itu membuat pak Budi bingung.
Malam kebrangkatan itu pun tiba.
sebelumnya, bu Asirih sudah memberitahu. agar, menggunakan mobil lain, mobil yang lebih besar, mobil yang bahkan belum pernah pak Budi sentuh sama sekali. hal itu, tidak menimbulkan kecurigaan apapun. tidak sampai ia tahu, siapa saja yang pergi.
Tidak beberapa lama, ndoro Sasri keluar, ia di bantu oleh ibu Asirih, melihat itu, pak Budi segera membantunya masuk ke dalam mobil.
Ndoro Sasri mengenakan kebaya putih, dengan terusan sewek (selendang batik) dari gaya busananya, seolah ndoro Sasri, akan menghadiri perjamuan.
Tidak ada pertanyaan terlontar dari pak Budi, hanya sekelibat pemikiran liar, saat melihat penampilan ndoro Sasri malam itu yang benar-benar terlihat layaknya bangsawan jawa.
“berangkat sekarang ndoro” Tanya pak Budi, yang sudah duduk di bangku sopir.
Belum mendapat jawaban apapun, tiba-tiba pintu mobil terbuka dan ibu Asirih melangkah masuk, lalu ikut duduk di samping ndoro Sasri, pak Budi terdiam sejenak sebelum ndoro Sasri mengatakanya.
“Asirih melu yo le” (ibu Asirih ikut nak)
karena sejatinya, ibu Asirih lebih suka menyuruh abdi lain atau pak Sasongko, tukang kebunya untuk menyelesaikan kewajiban bila harus keluar rumah.
Bila di pikir ulang, ibu Asirih juga misterius, sama misteriusnya dengan keluarga ini.
Seakan-akan ada pembatas dirinya dengan beliau, yang tidak dapat menjalin hubungan sebagai sesama pengabdi di keluarga CIPTO ini, namun segera pak Budi menepis pikiran itu.
Mobil pun melaju, setelah ndoro Sasri menyuruh pak Budi berangkat.
Di tengah mobil yang melaju, ndoro Sasri mengatakanya, “le, mampir dilek nang Yanu yo,” (Nak, kita mampir sebentar ke tempat Yanu).
Pak Budi ingat dengan nama itu, cucu beliau yang ada di K**********, tanpa pikir panjang, pak Budi segera meluncur menuju kesana.
seakan-akan perempuan itu mengatakan, “lak wes di omongke, kudune rungokno pisuruhku” (bukanya sudah ku bilang, dengarkan ucapanku).
Pak Budi pun melanjutkan perjalanan itu, menuju tempat yang ndoro Sasri ceritakan tempo hari.
Hal itu, menimbulkan ketakutan tersendiri kepada pak Budi
Mungkin karena itu juga, memicu pak Budi sehingga kehilangan fokus, akibatnya, perlahan, di tengah kegelapan jalan dan medan naik turun, terlihat di kiri kanan jalan, tiba-tiba ramai orang berbaris. Membuat pak Budi kaget
Ban mobil berdencit keras, beradu dengan aspal, sebelum berhenti total, bu Asirih melihat pak Budi dengan tatapan dingin.
“bu, enten nopo buk,” (bu ada apa ini?) Tanya pak Budi, kaget, tepat di depan pak Budi ada sebuah pohon besar, dan mobil sudah keluar dari jalur aspal.
“wes gak popo. Gak usah di pikirno, wes cedek kok. Ayo lanjutno” (sudah gak papa, gak usah di pikirkan, ayo lanjutkan perjalananya, sudah dekat kok)
bu Asirih kembali duduk. mata Yanu masih kosong, begitu juga dengan ndoro Sasri.
“Vila Th***S”
Pak Budi melirik tulisan pada papan tua yang di buat dari papan kayu yang sudah tua.
Bangunanya menyerupai bangunan belanda. Yang pak Budi pertama pikirkan tentang bangunan itu mungkin adalah bangunan milik pribadi dari ndoro Sasri.
bukan hanya ndoro Sasri, Yanu juga dibantu keluar, mereka membawanya masuk ke Vila, sementara, ibu Asirih meminta pak Budi menunggu di dalam mobil.
tidak lama kemudian, ibu Asirih masuk ke Vila.
pak Budi berdiam sendirian, melihat bahwa samping Vila hanya ada pepohonan gelap.
“jangan mendekat mas” kata orang asing itu. logatnya seperti logat orang Ja***ta.
“gimana mas, itu, teman saya yang memanggil”
orang asing itu masih diam, lalu berujar dengan nada bertanya. “yakin itu temanmu yang baru keluar dari mobil mas?”
ucapan orang itu membuat pak Budi bingung, tepat ketika melihat ibu Asirih lagi, tidak ada orang yang berdiri disana, hanya lorong Vila yang gelap.
“di tempat seperti ini, hal seperti itu sudah biasa mas. anggap saja, ada yang ingin kenalan”
pak Budi pun mendekati orang itu.
orang itu memberitahunya, kalau dia memang dari kota Ja***ta, alasan kenapa dia ada disini, karena ia baru saja mengantarkan majikanya.
di tengah percakapan itu, pak Budi tiba-tiba bertanya. “tempat apa sih ini mas. kok pelosok sekali untuk ukuran Vila pribadi”
orang itu, diam lama. mengamati, kemudian melihat pak Budi sembari berkata. “anda sopir baru ya?”
pertanyaan itu membuat pak Budi merasa aneh, seolah-olah ia baru saja melontarkan pertanyaan yang salah, namun pak Budi menjawab sejujurnya.
“nggih mas”
orang itu, terdiam lama.
“maksudnya gimana mas?” tanya pak Budi, dan tiba-tiba, seseorang menepuk bahu pak Budi, itu adalah bu Asirih, seraya melihatnya dengan tatapan tidak mengenakan.
“di celok ket mau kok gak njawab, ayok melbu” (di panggil dari tadi kok tidak menjawab, ayok masuk)
pak Budi mengangguk, bersiap berpamitan dengan orang itu, tapi, anehnya, tidak ada siapapun disana. hanya pak Budi sendirian, dengan ibu Asirih yang masih menunggu pak Budi melangkah dari tempat itu
“golek opo?” (cari apa kamu)
pak Budi pun hanya diam sembari berjalan mengikuti
“Budi” kata ibu Asirih, nadanya dalam dan dingin. “awakmu percoyo ambek ndoro Sasri?” (Budi, kamu percaya dengan ndoro Sasri)
“nggih ibuk”
“Bagus. awakmu siap dadi abdi nang keluarga iki”
Pak Budi terdiam lama, ia mencoba mencerna kalimat itu.
“Abdi sing yok nopo buk maksud njenengan” (Abdi yang bagaimana maksud anda buk)
“Abdi sing bakal nuruti kemauan junjungan” (Abdi yang harus mengikuti majikan apapun itu)
Pak Budi tidak menjawab. ia masih mencerna setiap kalimat itu, sampai, suara teriakan dari Yanu terdengar.
ibu Asirih langsung berlari, penasaran, pak Budi mengikutinya. ia masuk ke dalam Vila yang rupanya dari dalam seperti bangsal, banyak lorong dan pintu kamar di sepanjang jalan.
di dalam begitu lembab, sampai pak Budi bisa mencium bebauan kemenyan disana-sini.
“le” terdengar suara ndoro Sasri memanggil pak Budi, “mreneo le” (kesini nak)
ndoro Sasri melambai-lambaikan tanganya yang keriput, disampingnya, ibu Asirih berdiri menatap pak Budi dingin, namun, mata pak Budi tertuju pada seonggok kain kafan yang menggeliat di atas ranjang.
“Yanu” kata pak Budi, gemetar. ia tahu, itu Yanu yang di ikat diatas ranjang, namun, pak Budi tidak mengerti apa yang terjadi disini.
anehnya, ketakutan yang pak Budi rasakan, malah menuntunya mendekati ndoro Sasri yang terus melambai-lambaikan tanganya.
“le, gelem dadi Abdi si mbah yo” (nak, kamu mau jadi Abdinya mbah)
“Mbah” kata pak Budi mengulangi
ndoro Sasri tidak pernah menyuruhnya memanggil si mbah, beliau lebih suka dipanggil ibuk. pikir pak Budi, dan setelah memikirkan itu, ndoro Sasri tertawa, membuat pak Budi begidik
ibu Sasri mendekati pak Budi, kemudian menuntunya mendekati Yanu. ia benar-benar di ikat dengan 5 titik tali pocong, sudah menyerupai jenazah.
“Adusono yo” (mandikan)
tempat disamping ranjang, ada sebuah genok (kendi besar) berisi air, lengkap dengan gayung dari batok kelapa.
tidak mengerti namun pak Budi menurut saja, ia begitu ketakutan malam itu.
tidak beberapa lama, ndoro Sasri turun dari kursi goyangnya, ia berjalan tertatih-tatih menuju pak Budi, caranya berjalan nyaris seperti cara berjalan orang tua pada umumnya, hanya saja, ia lebih bungkuk.
tepat ketika ndoro Sasri sudah di depan pak Budi, ia melihat Yanu, kemudian menangis di atasnya.
pak Budi beringsut mundur. masih tidak mengerti. dengan cekatan, ia melepaskan satu persatu ikatan tali pocongnya, kemudian menelanya bulat-bulat.
Pak Budi yang melihatnya, mual.
Yanu yang sedari tadi menggeliat, tiba-tiba terbujur kaku. ia tidak lagi, bergerak sama sekali.
ndoro Sasri kemudian mendekati pak Budi, membawanya keluar dari ruangan itu, ia menutup pintu, menuntun pak Budi menjauh dari tempat itu.
disebuah tempat yang jauh dari ruangan itu, ndoro Sasri duduk di depan pak Budi yang tampak shock.
ia tidak tahu, apa yang ia perbuat malam ini.
“sak iki, takokno opo sing kepingin mok takokno le” (sekarang tanyakan semua pertanyaan yang ingin kamu tahu?)
“sinten njenengan asline” (siapa anda sebenarnya)
“liane isok, ” (tanyakan yang lain saja)
“sinten sing ngerasuki ndoro ibuk” (siapa yang ada di dalam tubuh ibuk)
“liane” (yang lain)
“Yanu sedo?” (Yanu meninggal?)
ibu Asirih menggelengkan kepala, “gak. ragane tok sing mati”
“kulo yok nopo buk” (saya bagaimana buk)
ibu Asirih tersenyum melihat pak Budi, ia tahu, pemuda di depanya sudah ketakutan setengah mati.
“tergantung”
ucapan itu membuat pak Budi menatap ibu Asirih lama, sebelum akhirnya ibu Airih pergi. “mene moleh, nek wes mari kabeh”
pagi hari, ibu Asirih datang menemui pak Budi, kemudian ia mengatakanya. “di enteni ndoro nang teras” (kamu di cari ibuk di teras)
Pak Budi berdiri, kemudian melangkah menuju ndoro Sasri.
ndoro Sasri diam menatap Taman di teras Vila.
“wes eroh kabeh awakmu le” (kamu sudah tahu semuanya nak)
pak Budi hanya menggelengkan kepala,
“Asirih gorong cerito tah” (Asirih belum cerita ya)
“dereng buk” (belum buk)
“mari iki, ayok muleh” (habis ini, kita pulang)
selama perjalanan, pak Budi tidak bisa melepaskan matanya dari Yanu, tubuhnya dibalut dengan selendang, matanya sayu, kosong seperti tidak bernyawa.
di dalam batin pak Budi, bergemuruh keinginanya untuk berhenti dari pekerjaan ini, namun, ia terganjal bagaimana bila hal buruk
-menimpanya. apa yang akan terjadi dengan keluarganya
bagaimana bila ia menceritakan ini kepada orang lain, adakah yang percaya. bukti apakah yang bisa ia buktikan.
sesampainya di Griya, ndoro Sasri, mengajaknya ke gazebo yang di larang itu, “awakmu pensaran to ambek nggon iku”
anehnya. pak Budi menjawab, ia tidak penasaran lagi. “mboten buk” (tidak buk)
“kok ngunu” (kok begitu)
“Oh iyo” (oh iya) awakmu wes eroh opo sing onok nang kunu” (kamu sudah tahu apa yang ada disana)
“nggih buk. kulo nebak, niku cucu mbarep sampeyan buk, mas’e yanu”
(iya buk, saya menebak, itu cucu pertama ibuk. kakaknya Yanu)
“dadi wes eroh kabeh sak iki.” (jadi kamu sudah tahu semuanya)
pak Budi mengangguk.
“tetep bakal metu awakmu le” (kamu tetap mau berhenti)
“nggih buk” kata pak Budi, “kulo dereng ngomong nggih ten sabda sak wisi ibu Asirih nawani kulo” (saya belum berjanji untuk mau saat ibu Asirih menawari permintaanya mengabdi pada ibuk)
“aku wes eroh,” (saya sudah tau)
hari itu, pak Budi meninggalkan tempat itu.
ia bercerita kepada keluarganya, namun anehnya, semua yang pak Budi ceritakan seperti tidak di gubris oleh keluarganya, seakan-akan semua orang sudah tahu, bapaknya, menyuruh pak Budi bertemu dengan seseorang. saudara jauhnya.
“awakmu kudu di pageri le mulai sak iki” (kamu harus di lindungi mulai hari ini)
berangkatlah pak Budi menemui saudara jauh atas perintah bapaknya, disana rupanya ia sudah di tunggu, namun ada kejadian yang hampir menghilangkan nyawa pak Budi saat menuju kesana.
ia hampir saja di hantam Truk dari depan, saat sepeda motor RC’nya kehilangan kendali, untungnya, pak Budi masih di beri selamat, karena ia bisa langsung berdiri dan menghindar.
detik itu, ia tahu, apa maksud ucapan bapaknya, bahwa ia harus di pagari mulai sekarang.
saat motornya di periksa, di antara ban luar dan ban dalam, ditemukan potongan bambu kuning, sehingga ketika motor bergerak, membuat ban menjadi selip dan akhirnya hilang kendali. bahkan, saat dilihat, orang yang memeriksanya ikut kaget.
“mas, njenengan di incer wong ya”
(mas, anda di incar orang ya)
“kok ngunu pak?” (kok bisa bilang begitu pak?)
“mana bisa orang memasukkan benda seperti ini ke dalam ban, kalau bukan ilmu hitam”
Pak Budi hanya bisa berdoa, di berikan selamat sampai tujuan.
dan ketika ia sampai disana. pak Budi menceritakan semuanya kepada saudaranya itu.
saudaranya hanya mengangguk, mengerti, bahkan ia tahu, di belakang pak Budi, ada puluhan jin mengikutinya, namun sudah di usir saat menginjak perkarangan rumah ini. disanalah, pak Budi di beritahu
“kalau saya tanya, ada yang aneh gak sama keluarganya, sama anak-anaknya, sama cucu-cucunya?” tanya saudara pak Budi.
“enten mas” “cucu’ne roto-roto, aneh kabeh” (semua cucuya sikapnya aneh semua)
saudara pak Budi tersenyum kecut mendengarnya.
“tapi onok cucu’ne siji seng normal mas” (tapi ada satu anak yang normal)
“ya” kata lelaki itu. “dia yang nanti akan jadi pewarisnya, dan keturunanya juga yang akan terus menanggung akibatnya. ini semacam, nandor balak” (menanam perkara) “dan akan terus mengikuti”
“seperti itu cara kerja pesugihan”
“pesugihan nopo niki mas jeneng’e?”
“”Pesugihan, Dolor renca” “pesugihan yang menggunakan keluarga sendiri sebagai tumbal, ganti rugi atas apa yang mereka dapat, bisa berupa harta yang melimpah, namun sebagai gantinya, saudaranya harus-
-rela mati sukmanya”
“tahu siapa orang yang menjaga agar tradisi ini tetap ada di keluarga ini?” tanya lelaki itu pada pak Budi.
“siapa mas?”
“wanita tua yang selalu di samping majikan kamu” “siapa namanya, Asirih!!”
“mas mau ngomong, nek aku di perlakukan ngunu, cekne sadar, aku gak terikat ambek keluarga iki, tros, piye ambek cah wedok sing dadi abdi gawe cucu’ne”
(Masnya tadi bilang, kalau aku di perlakukan seperi itu biar sadar, dan tidak terikat dengan keluarga ini, lantas, bagaimana-
-dengan perempuan yang sudah mengabdi untuk cucunya)
“Mati” kata lelaki itu. “semua manusia nantinya kan mati, jadi ya semacam ikatan batin, bila sukma majikanya sudah mati, ya, dia ikut mati dengan cara yang aneh-aneh, bisa penyakit, bisa kecelakaan, bisa bunuh diri juga”
ia tidak mau lagi, melihat, ada, seseorang yang ia kenal, mengikuti jejak pesugihan yang bukan hanya menyengsarakan pelakunya, namun, berimbas pada semua keluarganya.
sejak awal, gw sudah bilang, cerita ini adalah cerita yang sering cangah gw ceritakan sama gw.
gw cuma berharap, ada pelajaran yang bisa di petik dari cerita yang gw sajikan ini.
gak ada pesan lagi yang bisa gw sampaikan, karena gw yakin kalian tahu apa hikmah yang bisa di ambil dari segelitir bukti bahwa kadang manusia bisa menjadi serakah hanya karena setitik harta